Wednesday, October 19, 2011

Exploring Flores by Tika Larrygirl


Kisah perjalanan Tika Larrygirl ke Flores


Preambule
Semuanya berawal dari flashes of my childhood memory. It keeps haunting me. Even up to now. Waktu kecil kalau melototin kalender yang ada gambarnya danau tiga warna Kelimutu, pasti terpesona lamaaaa… trus beberapa tahun kemudian ada gambar Kelimutu lagi tapi warnanya berubah. Tadinya Merah, hijau dan hitam, jadi coklat, hijau dan biru tua. Trus ada lagi dan warnanya berubah terus. Jadi, secara tidak resmi saya ini termauk pengamat Kelimutu spesialis Kalender.



Beberapa tahun belakangan mulai ada keinginan melancong ke Flores, tapi ga ada teman yang mau. Kejauhan, kemahalan, dll.. ada yang sudah ok akhirnya mundur juga dengan berbagai alasan. Halah kalau nunggu terus bisa-bisa gunungnya keburu meledak dan malah jadi 1 danau nantinya..eheh…moga aja engga deh. Kalau tadinya masih ragu gara-gara nunggu teman, mahal dll..akhirnya dalam perjalanan ke Garut untuk basic rescue training kok jadi ngelamun di bus yang sepi. Asyik juga sebetulnya kluyuran sendiri kan sudah beberapa kali tuh waktu ke Toraja dan Padang. Okelah coba ke Flores!

Setelah dapat tiket big sale air asia ke denpasar sekitar 200an ribu hunting tiket selanjutnya ke flores dari denpasar. Engga ada yang dibawah 600rb. Memang benar mahal ke Indonesia timur. Makanya banyak backpacker bilang mendingan keliling asia lebih murah atau ke eropa sekalian. Memang sih ke Eropa ingin banget tapi coba negeri sendiri dulu ah, apalagi daerah timur Indonesia pasti eksotis lah. Kalau sudah kesana, Thailand, Vietnam dan lain-lain lewat.  Kebetulan dapat tiket merpati yang termurah ke denpasar dari Labuan bajo lagi. Yaudahlah nasib…tadinya rencana semingguan lebih dikit di flores trus mampir ke Negara di Bali tempat teman, dari situ naik bus ke Surabaya trus ke Jakarta. Eh nasib dapatnya tiket lain hampir 2 minggu di flores aja! Masa buat lihat Kelimutu aja segitu lama?!! Akhirya cari-cari info tentang Flores…dapatlah tentang Wae Rebo. Apaan tuh???

Dari berbagai tulisan di media online tentang Wae Rebo sepertinya menarik. Wah pasti seperti perjalanan ke tempat suku Baduy nih. Jadi terbayanglah liburan yang mengasyikkan. Bukan sekedar datang ke tempat wisata, foto-foto trus pulang..ah yang seperti itu seperti turis umum. Kurang berkesan. Saya selalu menginginkan perjalanan yang membuat kita dapat berinteraksi dengan masyarakat lokal, bukan sekedar mencoba kuliner lokal tetapi juga mengenal budaya dan kebiasaan setempat dan berkomunikasi dengan mereka. Langsung aja saya mengontak beberapa travel agent disana, kali aja ada yang arrange perjalanan buat backpacker. Sayang harus kecewa karena berharap mereka menyediakan paket benar-benar buat backpacker dengan budget seminim mungkin eh malah ditawari sewa mobil. 1 mobil buat 4 orang seharga 500 ribu per hari. Laaaah…. Ok deh karna blum pernah kesana dan buta total tentang wilayah Flores, saya coba ajak teman. Dapat Cuma 2. Gapapa buat sharing cost.

Selain itu tetap juga gencar usaha cari dari sumber lain yang dengan cara ngeteng lah. Ga usah sewa mobil segala, kalo ada cara naik truk sama kambing dan babi pun ok. Yang penting murah. Dapatlah kemudian blognya Raditya. Di blog nya dia tulis semua biaya perjalanan dari Bali ke Wae Rebo pp. Sangat informative. Coba kirim email ke dia, ternyata orangnya promotif sekali hehe…semua kontak orang Wae Rebo yang dia kenal dia kasi nomornya. Akhirnya setelah banyak bertanya, makin pedelah saya. Sesuai saran Yayak (panggilan Raditya) harus rajin kontak dengan mereka sebelum kesana karena disana susah dapat sinyal. Beberapa kali kontak ke pak Frans, guide dan ketua lembaga pariwisata Wae Rebo. 2 bulan sebelum hari- H saya coba kontak pak Frans gagal terus. Yaa..nyerah dah.. nanti-nanti aja. Tau-tau sudah 2 minggu sebelum keberangkatan dan kontak dengan pak Frans masih blum juga….walaaaah…. Baru kepikir buat telpon pak Martin, untungnya langsung nyambung hhhuuhhh…lega…. Urusan beres. Dia langsung kasi tau pak Frans dan kontak selanjutnya jadi lancar…

Masih juga belum dapat kabar dari Lili, kalo dari Cynthia udah, dia mundur. Gapapa. Kalo berdua aja sama Lili mendingan ngeteng. Saya akan paksa dia naik truk bareng babi dan kambing. Kalo mau ngotot sewa mobil oke tapi dia yang bayar full hehe…  untung di dia ternyata Lili ga bisa ikut. Sip lah! Jadi saya akan berangkat sendiri nih. Walaupun rada keder juga tapi sebetulnya ini yang saya mau, karena ingin lebih lama di wae rebonya. Kalau rencana semula jalan bertiga hanya semalam di wae rebo, sepertinya kami akan capai sekali karena kemudian sehari setelah itu ke ende. Syukurlah kalo saya jalan sendiri kan bisa nyantai.

Makin dekat hari-H makin ga bisa tidur membayangkan perjalanan nanti. Kayaknya pak Frans juga ketularan panik mungkin karena saya cewe sendiri ke flores, pusing kali dia hehe… 
2 hari sebelum berangkat, hari jumat, dia telpon saya
"Besok kita ketemu di Ruteng yaa…"
"Besok? Laaa Minggu kaleee…"
" Oh ya.. maaf bu" katanya. 
Sabtu pagi dia telpon lagi?? Lealah stress ndiri nih orang heheh… 




The Journey:
Day 1. Sept 25, Sunday
Biasanya semalam sebelum perjalanan jauh saya pasti terlalu antusias dan susah tidur. Ni sabtu malam tanggal 24 September saya pikir juga akan seperti itu. Tetapi begitu kena bantal…langsung bablas. Tau-tau Bono teriak Unos, Dos, Tres…. Catorce…. Jam 3 pagi! Pas bel kenceng banget. Masih ngantuk-ngantuk mandi. Untungnya kali ini saya sudah ngepak dari 2 hari sebelumnya ga kayak biasanya langsung blingsatan 1 jam sebelum berangkat baru ngepak.

Jam 4 sudah cukup keren duduk di kursi belakang supir Damri, berangkat dari Rawamangun ke Cengkareng. Dari Soetta ke Ngurah Rai dengan Air Asia hampir seluruh penduduk dalam pesawat WNI ada satu, dua orang bule. Normal. Terlambat dikit, 10 menit Air Asia medarat di Ngurah Rai.

Nunggu 2 jam lebih untuk transit di Ngurah Rai, karena Merpati rada terlambat.  Duduk disamping rombongan orang yang penampilannya seperti penduduk asli Indonesia timur sana. Mereka tanya-tanya ‘mau kemana’ basa-basi buat isi waktu kosong. Bikin tambah bosan. Dari obrolan mereka banyak omong soal Kupang yaaaa kirain mereka bakal ke Kupang. Udahlah. Ga usah ambil pusing. Tidur aja.

Telat setengah jam dari jadwal, merpati terbang juga ke Labuan bajo. Kali ini separuh lebih penumpangnya bule.  Weleh….turis lokal memang tetap demen belanja dan Bali masih tetap andalan. Rada keder juga naik pesawat yang besarnya separuh pesawat pertama tadi. Ingat pengalaman naik DAS dari Toraja ke Makassar, seperti naik bajaj bersayap. Mesin memang berisik tapi saya ga mau pikirin yang seram-seram tetapi tetap saja teringat berita pesawat merpati yang jatuh meledak di Kalimana, Papua. Tetap pusatkan pikiran ke Wae Rebo.

Jam 2 lewat (WITA) pesawat mendarat di Komodo. Panas terik. Satu dua warga keturunan yang rupanya turis lokal sedang berbulan madu pada narsis didepan tulisan Bandara Komodo. Sempat terbersit keinginan foto-foto model gitu juga sih, ah tapi malas terlalu panas. Cepat-cepat sajalah cari travel ke Ruteng. Benar baru hp menyala sms pa Frans mulai berkicau. Ya..ya…ya…segera ke Ruteng.

Sesaat kemudian saya duduk dengan rapi di dalam mobil travel ke Ruteng. Tidak lama, masuk rombongan bapak-bapak bedesakan di samping saya. Waktu nengok,…laaahh ini rombongan yang tadi saya pikir mau ke Kupang ternyata ke Ruteng juga.

Menurut kebiasaan kalo  jalan-jalan saya duduk disamping pak supir yang sedang bekerja. Tapi kali ini malas karena udara sangat panas. Duduk didepang malah mengundang sinar matahari banyak-banyak ke muka saya. Biar kali ini ga usah jeprat-jepret kamera. Nanti saja dalam perjalanan pulang, sama saja rutenya. 
Bersiap untuk tidur, satu..dua mata mulai terpejam.. "Mau kemana?"
Halah!! Si bapak disebelah saya nanya kenceng banget dikira saya tuli apa? Padahal Cuma budeg dikit. Yaaah… jadi ngobrol deh. Lebih mirip interogasi sih. Orang dia yang nanya mulu. Eh baru tahu ternyata mereka itu rombongan Romo yang baru pulang dari training di Denpasar.

Perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng dengan travel ditempuh dalam 3 hingga 3.5 jam, tapi pasti pake istirahat. Tadi di Ngurah Rai udah makan siang. Kali ini ya makan lagi. Pesan makanan. Si ibu penjual makanan mulai menyendokkan nasi ke piring dan….saya terpana.. busyet nasinya porsi nasi padang yang dibungkus!!! Ah…saya tidak terlalu lapar. Kurangi nasinya. Dia kurangi sedikit. Ternyata saya salah kali ini baru porsi nasi padang versi bungkus yang tadi dipadatkan porsi apa yah? Mungkin itu jatah makan kami sekeluarga di rumah. "Kurangi lagi dong bu"…pinta saya memelas. Si ibu sebal. Dia kurangi separuh lebih. Haiyaaaa…. Ya sudahlah . Semua bapak teman seperjalanan cukup senang dengan adegan hiburan ini. Puas ketawa mereka. Biarin! Kami, orang Manggarai ini kalau makan porsinya memang segitu bu…mereka menerangkan. Ooooh… ya tapi saya kan tidak termasuk ‘kami’.

Mau bayar makanan, eh Romo yang duduk disebelah saya, Romo Bone namanya, bilang kalau semua sudah dia bayar. Yaaaa…jadi engga enak kenapa tadi makan cuma dikit hehe.. Makasih Romo. Eh masih ada lagi dalam perjalanan lanjutan ngobrol-ngobrol lagi trus dia kasi ke aku gelangnya terbuat dari kayu yang ada gambar orang-orang suci. Waduh jadi makin engga enak kenapa engga dia kasi aja saya uang sangu tambahan..hehehe….ngrekes. Udah deh akhirnya tuker-tukeran nomor hp.

Oh..ya..kami juga ngobrolin soal Wae Rebo. Dia pernah kesana sekali. Dulu rumahnya Cuma 4 dan sekarang jadi tujuh karena sumbangan dari pak Ben siapa gitu anggota komisi 3 di DPR. Masa tika tidak tahu. Engga tuh. Dalam hati...Bodo amat ma anggota DPR. Mendingan anggota OVJ ketauan lucu dan menghibur. DPR lucu tapi memuakkan. Dia tuh orang wae rebo setelah tahu banyak turis asing kesana dia bangun lagi 3 rumah baru. Oh ternyata ada juga putera daerah yang mau membangun desanya. Bagus juga si ben ini.

Matahari mulai tenggelam, kira-kira jam setengah enam lewat travel memasuki Ruteng. Romo Bone tanya, "Tika tidur dimana malam ini?" 
Weks! "Engga tau yah! Engga booked satu losmen pun. Tapi kata pa Frans ada susteran yang bisa dipakai sebagai penginapan juga."
"Ooo itu susteran MBC (Santa Maria Berduka Cita). Ahah..iya kali. "Pir tolong antar nona ini ke sana yah".

Hari sudah gelap saya turun dari travel. Setelah berpisah dari Romo Bone dan kawan-kawan disertai berbagai tagihan janji kirim foto…ini dia ongkos makan siang hehe… saya berjalan menuju kantor susteran. 
"Malam suster…ada kamar kosong kah malam ini?" 
"Wah maaf de…sudah penuh. Coba ke Hotel Rima di sebelah. Tidak jauh dari sini sekitar 50 meter dari sini." 
Jalan deh ke hotel Rima... 
"Malam Mba..ada kamar kosong?"
"Ada tapi tinggal yang bisnis."
"Yaa…okedeh. Berapa kalo yang bisnis?"
" 200 ribu."
"Mmmm… " Mikir. Nih baru hari pertama tiba, masih ada berapa belas malam lagi? Kalo mau nginep di hotel terus yang segini harganya memang bersih tapi duit bisa cepet tiris nih.. 
"Eeh…tar dulu ya mba. Saya telpon teman saya dulu."

Telpon Pak Frans ga diangkat. Telpon Romo Bone ga diangkat juga. Weleh..sms aja dah. 
"Bisa engga saya nebeng ditempat kalian malam ini saya bawa SB kok." Emang sengaja bawa SB buat ngirit ongkos dan udah niat nyari tebengan. Duh lama bener dah hampir 10 menit lewat blum ada respons dari keduanya. Pret eh kaget hp bergetar pantesan saya silent yak. Miscall ada beberapa deh dari Pak Frans. 
"Haloo… gimana pak bisa ga saya numpang malam ini saja. Soalnya susteran sudah penuh. Di hotel juga kemahalan. Please malam ini saja." Fingers crossed bo’ong deh.. kalo bisa terus sampe pulang. "Boleh bu. Ada tempat kakak saya, asal ibu bisa menerima tempatnya seadanya." Yee…seadanya gimana emangnya kamar saya lebih bagus dari kamar hotel apa? Sama saja. Oke. Beres.

Dijemput motor saudaranya kami ke rumah kakaknya pa Frans. Ruteng gelap gulita kalau malam. Jam 7an kami tiba di rumah kakak pa Frans. Langsung menuju ruang tamu. 
"Silahkan bu."
"Oh ya…makasih." 
Istri yang punya rumah keluar. 
"Maaf saya Tika mau numpang bermalam disini karena hotel sudah penuh" (ya sudah gitu saja penjelasan ke si Ibu ga usah panjang-panjang). 
"Ah gapapa bu. Asal ibu bisa terima keadaan kami ini."
Weleh ya jelas terima sekali hehehe… Satu demi satu orang keluar dari dalam ke ruang tamu dan kami berkenalan. Kami semua duduk bersama di ruang tamu. Busyet dah! Kayak tamu resmi aja yak! Padahal penumpang gelap! Jadi likat dah.

Mulailah saya memperkenalkan diri dan apa mau saya ke Wae Rebo daripada nunggu di interogasi. Eh kecele…. Basi! Mereka dah pada tahu. Yang ada malah mereka tanya-tanya tentang Jakarta hehe… "Kapan ibu mau berangkat?" Kakak Tres, istri kakak pa Frans (saya panggilnya begitu kalo pake mama kok rasanya lucu hehe kebiasaan orang Indonesia Timur panggil orang yang sudah menikah) bilang "nanti kita berangkat sama-sama saja kebetulan ada saudara yang akan menikah di Dintor. Ibu saya undang untuk datang." Waduh. Enak juga sih dapat undangan makan, tapi…ke Wae Rebonya gimana yaa…mikir. Udahlah iyain aja, pikirin besok aja. Sekarang dah malam. Tidur!

Sempat nyesel juga menampik untuk tidur sendiri. Saya ditaruh di kamar ditengah yang biasa dipakai keponakan kak Tres yang masih kuliah. Tadinya si keponakan maunya tidur ditempat lain, saya yang ga enak. Ni kamar kamu kan? Ya sudah kita tidur saja berdua disini masak kamu malah mau menyingkir. Dia senyum aja trus tidur disamping saya. Mata dah mulai berat eh tuh bocah pencet-pencet hp sampe pagi. Sebentar-sebentar hpnya bergetar mbeeek….gimana bisa tidur nyenyak nih. Tidur bareng cell phone freak.


Day 2. Sept 26, Mon.
Jam 4 pagi waktu setempat. Jam 3 pagi waktu Jakarta saya sudah melek lebar. Biasalah tidur di tempat baru ga nyenyak plus teman tidur pencet-pencet tombol mulu. Mau keluar gelap dan dinginnya itu…amit-amit. Saya terlalu menyepelekan Ruteng. Dah baca sih kalau Ruteng itu dingin tapi…ya saya pikir paling-paling kayak Garut atau Tasik. Salah!!! Dingin banget. Nyesel tadi tidur juga ga pake SB jadi menggigil.

Jam 5 lewat beberapa anggota keluarga sudah mulai bangun. Saya jadi pusing sendiri nih orang banyak banget semuanya memperkenalkan diri. Namanya siapa mereka itu siapanya siapa juga dah lupa saya. Orang-orang pada sibuk, saya sendiri manyun. Dah bantuin kak Tres ngepak puluhan bolu yang dia buat sehari sebelumnya. Bolu buat pesta. Hebat yah…kekerabatan mereka ini. Di Jakarta mana ada lagi yang begitu.

Dah selesai bantuin ngepak yang saban-saban diusir. "Sudah..sudah..ibu ga usah repot-repot." Mungkin takut saya curi-curi dikit kueya kali yaa…hehe…  Matahari mulai keluar. Dah daripada bengong keluar rumahlah di depan sawah terbentang luas. Mau hunting sunrise ceritanya. Tapi engga dapat moment atau angle yang pas. Yah biasa aja lah. Masih tetap menggigil kembali lagi ke rumah.
"Mari ibu kita sarapan."
Yah ga biasa sarapan. "Jangan panggil saya ibu. Nama saya Tika."
"Oh..baik lah. Mba Tika."
"Yaaa…udah Tika aja ga usah pake embel-embel mister, dokter segala… Mari kita sarapan."

Mulailah mereka menyendokkan nasi ke piring masing-masing dengan porsi yang tidak kalah dengan si ibu penjual nasi yang saya temui sebelumnya. Busyet! Masi pagi nih! Jam 6.30 waktu setempat. Porsi makan segitu??? Weh.. paling-paling saya juga makan bubur itu satu sendok nasi yang diencerkan dengan segentong air. Bubur ayam kan begitu kan??? Mereka tidak kalah syok juga waktu lihat porsi nasi di piring saya. Pa Frans bilang "Besok kalau kita mau naik ke Wae rebo porsinya harus berlipat kali itu ya bu." Meringis saja..saya coba yaa. Dan jangan panggil bu. Haduh susah amat sih.

Hari mulai siang. Kak Tres bilang sebentar siang kita berangkat sama-sama ke Dintor ya. "Ibu tunggu saja disini. Saya ke kantor dulu." Yaelah ibu lagi…

Pak Frans nongol sebentar.
"Ibu disini saja yah..saya mau ke bri. Mau urus PNPM mandiri. Ibu!!!"
Jam 11an sendirian di rumah. Yang lain pada sibuk. Eh dari rumah sebelah, Kak Li adik kandung kak Tres mau ke pasar. "Ikut yaa…" "Boleh. Ayo mba Tika pesiar lihat pasar di Ruteng." Hehe…sebetulnya daripada ngelamun aja dih mendingan ikutan ke pasar. Sama aja seperti pasar dimanapun. Rusuh. Orang berdiri dan berjualan di sembarang tempat, mobil pun ga mau kalah ikut menyelinap diantara manusia. Hai hai hai… eh disudut sana ada tukang ojek ganteng banget hehehe….. lumayan buat hiburan. Ngerasa ganteng dan diperhatiin dia senyum-senyum ge er. Malah nawarin…ojek? Ah engga makasih. Saya jalan aja.

Jam 12an lewat kami sampai kembali di rumah. Kak Tres dan orang-orang yang bekerja sudah kembali ke rumah. Mereka biasa makan siang di rumah. Enak yaaa kalo kerja dekat dan ga ketemu macet.  Ngirit ongkos dan lebih higienis. Saya bantu nyiangin sayur yang bejibun. Saya pikir ini semua akan dibawa untuk ke pesta ternyata engga. Buat dimakan sendiri. Tapi karena masaknya buat 2 rumah. Dan yang hidup dalam 1 rumah itu bisa lebih dari 2 keluarga. Kadang ada saudara atau teman dari kampung yang datang ke kota untuk mencari barang dan kebutuhan yang tidak dapat diperoleh di kampung. Trus mereka numpang dirumah saudara atau teman di kota. Begitulah. Mereka sangat baik. Sifat kekeluargaannya yang kuat dan saling membantu. Hebat yah. Coba orang Jakarta, keluarga dari jauh datang, oh lagi sibuk nih, sebentar ya. Oh kalau mau jalan ni naik ini kesini naik itu kesitu bla…bla…bla.. Kalau mereka, orang-orang Manggarai ini mana begitu. Ada siapapun yang datang menumpang mereka layani benar. Mau pergi kemana-kemana kalau bisa mereka antar. Kalau tidak mereka panggil keluarga lain yang bisa.

Jam 1 lewat setelah makan siang, bemo (kalo di Jawa barat angkot namanya) charter-an datang menjemput. Kami masih menjemput penumpang lain, yaitu para pria pesolek beneran (alias waria) dari salon yang akan mendadani pengantin. Sambil menunggu mereka ribet mengatur barang, saya dan pak Frans ngobrol tentang Wae Rebo. Terbawa juga dalam pembicaraan mengenai ‘sumbangan’ dari anggota komisi 3 DPR. Ah tidak. Tidak ada. Semua dana pembangunan mbaru niang (rumah adat) dari donatur di Jakarta. Semua itu pak Yori Antar (arsitek dari Jakarta) yang mengatur. Dia bawa kami ke Jakarta dan pameran di sana. Kemudian donatur (para arsitek, perusahaan-Danone salah satunya- dan media) banyak yang tertarik untuk menyumbang. Hehehe…. Kesimpulannya anggota DPR tetaplah anggota DPR.

Sekitar jam 3 kurang kami bemo mulai bergerak menuju Dintor. Berapa KM engga tau persis. Tapi kalau dengan Taxi (istilah masyarakat setempat untuk truk yang dimodifikasi bak belakangnya dengan penutup dan diberi bangku panjang di kedua sisi untuk mengangkut manusia, hewan, hasil bumi dan bahkan sepeda motor) jarak tersebut bisa dicapai selama 6 jam dengan tarif Rp 60.000. Ciri khasnya musik yang diputar dengan volume pol. Kalau dengan ojek 2 hingga 2.5 jam dengan tariff Rp 100.000 hingga Rp 125.000, tergantung tawar-menawarnya. Dengan bemo kami tiba di Dintor pukul 6 sore, plus beberapa kali berhenti untuk foto-foto, menyapa keluarga di desa lain. Walaupun jalan sangat tidak rapi disana-sini, pemandangan pegunungan bercampur sawah yang luas terlalu indah untuk dilewatkan.

Saya memutuskan untuk menginap di penginapan pak Martin saja malam itu, karena landsacape-nya luas dan ada
pemandangan langsung ke pulau Mules (karena sakit perut?). Kalau mau ikut menginap di atas tempat kak Tres atau di Kombo tempat pak Frans, kok kayaknya engga enak. Malam itu pasti mereka sekeluarga sibuk mempersiapkan pernikahan esok hari, trus saya bengong aja juga engga enak, kalo bantu-bantu mau bantuin apa juga tar diusir ato takut salah. Sore itu pak Frans janji jemput saya besoknya jam 8 pagi, karena jam 9 biar bisa ikut misa pernikahan keponakannya. Ok kita berpisah sementara.

Penginapan sangat bersih, apa karena belum ada setahun ya, seharga 175.000 semalam plus makan 3 kali (lauknya lengkap ada ikan/daging dan sayur, kadang dengan nasi hitam…nah tuh baru tahu saya ada nasi hitam..selama ini paling-paling ketan item). Air meskipun tidak susah didapat tapi diambil dari sungai kecil yang berasal dari mata air-mata air di Wae Rebo yang dialirkan ke Dintor dan harus dibagi-bagi dengan sekian warga untuk penggunaan sehari-hari dan irigasi. Jadi pengurus penginapan harus menampung air dalam jerigen dan mengisi 3 tong besar di kamar mandi untuk keperluan tamu. Walaupun bayar, tapi saya juga engga tega untuk make air sembarangan. Ada 2 kamar tanpa kamar mandi di dalam dan 4 kamar dengan kamar mandi di dalam.

Penerangan mulai dari desa Narang hingga Denge di atas sana masih swadaya masyarakat. Ada yang menggunakan genset ada juga yang memiliki dana cukup untuk membeli sel surya. Ditempat pak Martin genset menyala hingga pukul 9-10 malam, tergantung persediaan solar. Sinyal telepon (telkomsel satu-satunya provider di Flores dan termasuk wilayah Bali) hanya muncul di beberapa titik tertentu. Yang kocak. Ditempat pak Martin kita harus naik ke loteng dan berdiri di ujung dekat jendela loteng untuk dapat sinyal. Bergerak sedikit dari tempat itu, obrolan langsung putus. Yah itulah sebagian kecil masalah penduduk Indonesia di bagian timur. Boro-boro pembangunan, kesehatan, pendidikan, untuk mendapatkan air saja susah apalagi listrik dan telekomunikasi tambah lagi infrastruktur yang kacau seperti jalan aspal bolong disana-sini dan jembatan hampir putus.  Putera daerah pun kalau sudah ke pusat dan dapat tempat enak juga lupa. Oh negeri ku. Begitu indah, tetapi begitu rusak.

Begitu genset mati, saya siap keluar. Bergaya mau ngambil landscape malam ceritanya siapa tau bisa dapat stars trail photo shots. Tengok kiri kanan, gelap gulita…mantap begitu mendongak waaah…menakjubkan bintangnya keluar semua padahal tadi sore agak berawan. Atur posisi tripod, kamera posisi duduk. Ok siap! Tangan kanan pencet shutter, tangan kiri melototin timer di hp…10 20 menit??? Huek… 10 detik! 20 detik weleh tangan pegel. Boro-boro mau pencet setengah jam! Dah ah nyerah! Salahin tuh remote control batunya abis. Dah detik terakhir mau berangkat baru ngeh. Yah! Hasilnya seperti komet cacingan semua. Meliuk-liuk ga jelas. Dah bengong aja sebentar ngerasain planetarium beneran trus tidur.


Day 3. Sept 27, Tue
Jam 4.30 pagi Bono dah teriak-teriak lagi…. Snooze.. tar dulu ya bang, tambahin bonus sepuluh menit. Yadah 10 menit dah lebih dikit. Ok siap keluar nungguin sunrise. Masih gelap gulita oy. Tapi dah ga bisa tidur lagi. Dah ON ini. Yaudah jalan-jalan aja di sekitar penginapan dan sawah-sawah sambil ngedengerin binatang malam. Tau-tau… lolongan panjang terdengar. Beku! Sebentar kemudian…jedak-jeduk! Yaelah taksi lewat.

Jalan-jalan ke bawah ke arah pantai, jeprat jepret ga jelas di sana sini sambil bawa-bawa tripod di sebelah tangan. Akhirnya saat yang ditunggu datang. Matahari mulai muncul dari balik genteng penginapan. Jongkok di pinggir jalan, jepret jepret sampai puas. Jalan lagi sampai bosan trus kembali ke penginapan.

Begitu tiba di penginapan sarapan sudah tersedia. Lumayan dah lapar banget. Mulai ambil ancang-ancang pegang sendok nasi…entah kenapa tangan kiri iseng masuk kantong jaket. Eh apa nih? Saya tarik keluar semacam bungkus….halah!!!! tripod ku mana???? Setengah terbang saya menyusuri jalanan yang saya lewati tadi. Turun ke pantai, naik lagi, tanya sana sini ada yang lihat barang aneh di pinggir jalan tidak. Memang tripod saya bukan Velbond dan bukan barang yang penting juga tapi kalau itu barang tergeletak di pinggir jalan dan terlindas taksi atau motor… waaa…susah di bayangkan. Hampir setengah jam mata melototin pinggiran jalanan, akhirnya ketemu juga doi lagi bengong dibawah pohon kapuk. Huffff….untung ketemu.

Jam 8.30 Mana nih Pak Frans ga muncul juga?? Sabar… dia lagi jalan kali atau masi repot ngurusin keperluan misa.
Jam 9 lewat banyak…. Blum muncul juga nih orang. Sepertinya pa Frans memang hari ini ga akan jemput saya. Inginnya pergi sendiri ke Kombo pake ojek atau taksi tapi ga enak juga kan keluarga semua disana sedangkan saya mahluk asing sendiri. Ya sudahlah saya menghabiskan siang itu dengan bermain di sawah dan turun lagi ke pantai sampai bosan atau ngobol dengan Veronica, adik ipar pa Martin.

Cuaca di Dintor cukup sejuk karena banyak angin termasuk daerah pantai tapi seperti kebanyakan wilayah di Flores yang topografinya berbentuk bukit dan pegunungan. Landscapenya dari pantai paling jauh 10-20 meter langsung menanjak menjadi perbukitan. Dari Pantai, desa pertama Dintor naik terus, Kombo, setelah itu Denge, desa terakhir sebelum perjalanan trekking ke Wae Rebo.

Jam 12.30 Makan siang sudah tersedia, pa Frans masih juga blum muncul. Waduh..jangan-jangan dia lupa sama saya dan besok dia naik sendiri ke Wae Rebo. Gimana nih.

Setelah makan siang cuaca terlalu panas untuk turun ke pantai. Saya putuskan untuk tidur saja. Biar proses pencernaan berlangsung lancar. Mendadak ada suara duk..duk… pelan. Saya terbangun. Terlihat pak Frans jalan mondar-mandir di depan kamar. Saya melirik jam. Jam 3.25!!! Weks! Kebo! Kelamaan tidur.

Dengan menggerutu saya buka pintu kamar pelan-pelan. Pak Frans senyum-senyum sambil meminta maaf kalau dia tidak tepat janji. Malam itu saya menginap di rumah pa Frans di Kombo, sebelum keesokan harinya trekking ke Wae Rebo.
Jam 8 malam, kami bersiap ke resepsi pernikahan keponakannya pak Frans di Dintor tapi agak lebih tinggi letaknya dari penginapan pak Martin. Tiba di tempat perkara jam setengah Sembilan lewat. Katanya pesta dimulai jam 8 tapi hingga saat itu pengantin blum juga datang. Kami menunggu di rumah saudara mereka di rumah sebelah.

Jam 9 lewat baru pengantin datang. Tempat resepsi adalah di lapangan depan SD tempat anak-anak Kombo bersekolah. Tempatnya sangat luas ditutup tenda terpal sederhana dan dipagari bambu dan daun-daun kelapa. Jadi malam itu sangat dingin dan berangin. Heran juga pengantin dan keluarganya kuat atau sudah biasa mungkin.

Kalau di Jakarta tamu datang dulu berkerumun di dalam ruangan baru pengantin datang dan semua tamu berdiri menyambut. Yang orang penting sebenarnya tamu atau pengantinnya yah??? Kalau di Manggarai engga gitu ternyata pengantin datang dulu baru tamu satu-persatu nongol kasi angpau ditempat disediakan dan bersalaman dengan pengantin kemudian duduk manis di bangku dan kursi-kursi yang sudah diatur menghadap ke pengantin.

Semenjak jam 8 malam sebelum tamu dan pengantin berdatangan band lokal dengan alat music andalan keyboard sudah mulai beraksi. Jadi malam itu atraksi utamanya sebenarnya mereka bukan pengantin hehe… MC dan beberapa anggota keluarga dan tamu yang dianggap penting bergantian memberik kata sambutan dan petuah diselingi lagu. Begitu terus sampai jauh malam.
Jam 11 acara masih begitu terus. Kapan makannya nih? Perut sudah makin melilit kejam.

Akhirnya tiba juga saatnya makan malam. Sesi ini sangat menarik perhatian saya, bukan cuma karena berdebar-debar menebak menunya, tapi cara mereka berjalan ke tempat makanan dan kembali ke bangku masing-masing. Rapi sekali! Kalau di Jakarta entah ada tamu tak diundang ataupun juga tamu berbusana mahal, pasti dulu-duluan ke meja makan. Mengambil makanan hingga piring luber lalu tidak dihabiskan. Konyol! Kalau tamu-tamu yang saya perhatikan di Dintor kemarin semuanya adalah orang dusun dan berpakaian seadanya. Tetapi pada saat acara makan malam, mereka dengan sabar menunggu panitia mempersilahkan tamu mulai dari yang duduk di bangku depan hingga ke belakang secara bergantian. Tamu pun berjalan keluar arena melalui pintu di sebelah kiri dengan cara berbaris dan tidak saling menyerobot. Mengambil makanan dan kemudian kembali melalui pintu sebelah kanan.

MC berkata bahwa acara tidak akan berlangsung hingga jauh malam tetapi sampai pagi. Waduh! Bagaimana ini kalau besok gagal ke Wae Rebo. Ternyata pa Frans dapat membaca kecemasan saya. Saat suasana mulai memanas dan beberapa orang mulai berpoco-poco kami pulang ke Kombo.
Belum lama kami tiba di rumah pak Frans hujan turun, pertama perlahan, tapi kemudian menderas. Makin cemaslah saya. Kalau tidak kunjung berhenti hujannya gimana perjalanan besok????


Day 4. Sept 28. Wed
6.55 pagi masih bengong dengan cemas di Kombo. Persiapan sudah. Sebagian barang yang menyusahkan saya pisahkan dan akan ditinggal di Kombo. Pokoknya secara fisik dan mental sudah siap ke Wae Rebo. Tapi cuaca yang tidak siap. Haiyah!! Hujan terus turun, sebentar deras, sebentar pelan. Dengan santainya pak Frans bilang "Tenang aja kita pasti jalan. Nanti jam 9 juga pasti terang." Padahal kemarin dia bilang naik jam 7 aja biar ga terlalu panas di jalan. Nah lo…

Jam 9 lewat pak Frans ngajak saya berangkat. Cuaca masih mendung dan hujan turun perlahan. Tapi dia sudah eneg lihat saya frustasi jadi nekat juga jalan.
"Bawa payung Tika?"
Hah? Engga lah repot. "Saya pake jaket kok kalo masih kurang ada jas hujan tweety."
"Baiklah kalau begitu kita berangkat."

Dari Kombo kami menggunakan ojek (ongkos 5.000) ke Denge, desa terakhir sebelum menuju Wae Rebo. Karena ojeknya muncul satu-persatu jadi saya berangkat dulu, Pak Frans menyusul kemudian.

Ojek berhenti di depan SD Denge. Hujan mulai mereda tetapi suara motor yang kembali turun ke arah Kombo sangat kencang. Maka bermunculanlah kepala-kepala kecil mau tahu dari balik jendela dan pintu sekolah. Histeris mereka berteriak "Turis!!!turis!!!" Apalagi melihat saya memegang kamera, beberapa diantaranya beraksi minta di foto.

Begitu pak Frans muncul, kami melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo dengan berjalan kaki. Sebelumnya kami sedikit berbasa-basi dengan guru dan seorang penduduk Denge yang baru kembali dari kebun. Biasalah tambah-tambah petuah dan nasihat. Makasih.

Awal trekking cukup ringan karena kami melintasi kebun warga Denge dan jalurnya cukup landai, persis seperti deskripsi Yayak. Santai aja trekking ringan memang jauh tapi landai kok. Oke deh saya percaya. Mantap melangkah sampai di pos 1. Istirahat sebentar minum dan duduk-duduk. Cuaca masih tetap hujan ringan.

Sementara pak Frans sibuk melinting rokok rakitan sendiri, saya duduk di sebuah batu besar. Tiba-tiba ada yang bergerak-gerak di ujung kaos kaki. Pacet!!! Saya angkat sedikit celana saya. Benar di pergelangan kaki sudah ada dua dan gemuk semua. "HUAAAA!!!!... pak Frans tolong saya…." Saya bangkit berdiri. Di jempol tangan sudah menempel satu. Saya semakin panik. Enteng benar pak Frans cuma bilang.. "Disini memang daerahnya mantek (nama panggilan pacet di Flores), apalagi cuaca basah begini." Yeee.. engga ada yang bilang. Tau begini saya bawa repellant apa kek. Geiter ato garam ato bawang putih eh ga bisa yaa.. emang drakula.

Dengan panik saya minta sedikit tembakau kering pak Frans. "Iya..iya.. benar pakai ini bisa dia bilang. Di remas-remas saja disana ada air sungai kecil kemudian di usapkan ke kaki dan tangan." Dia ga mau menemani ke sungai malah duduk merokok. Pergilah saya sendiri ke sungai. Benar kan…baru membasahkan tembakau sudah ada pacet lain menempel di tangan. Ga mikir tuh batu sungai atau kasur empuk saya injak dan setengah melayang ke tempat pak Frans dengan histeris. "Cabut ini! Cabut ini cepat!!!!"

Setelah bersih dari vampire saya usapkan tembakau ke seluruh bagian tubuh yang terbuka termasuk leher dan muka. Bodo amat dia ketawa. Kan pacet suka nempel di batu, tebing dan pohon. Dia bisa melenting juga,…. kalo kena muka hiii…bopeng dah ntar. Daripada diam terlalu lama di markas mantek saya langsung beranjak meneruskan perjalanan. Pak Frans membuntut di belakang sambil ketawa-ketawa haha hihi.

Hujan terus turun, begitu aja terus ga jelas, kadang pelan, kadang deras. Gemas saya buka aja jaket karena mulai terasa panas berkeringat, jalur terus mendaki tapi landai. Melewati kebun kami memasuki area hutan lindung dan wilayah Wae Rebo. Jalan semakin gelap karena kanopi hutan yang lebat dan cuaca saat itu berkabut.

Ini sudah ada setengah perjalanan blum pak? Ini baru seperlimanya. Hah!! Nafas dah mulai ngos..ngos..ngos.. Buat mengisi waktu saya banyak nanya ini itu tentang Wae Rebo, fauna dan flora disekitar.

Menurut pak Frans. Orang-orang dulu memang senangnya tinggal di hutan. Kemudian yang di Wae Rebo itu ada satu keluarga mendirikan beberapa rumah dan beranak-pinak hingga sekarang. Dahulu ada 7 rumah adat (mbaru niang). Satu diantara rumah adat adalah rumah gendang yang didiami ketua masyarakat disitu semacam kepala suku lah. Engga nanya juga kenapa disebut rumah gendang tapi belakangan dapat informasi dari orang lain kalau kerajaan Manggarai dulu berpusat di Todo sedikit lebih dekat letaknya dengan Ruteng. Hingga sekarang di Todo hanya ada satu mbaru niang yaitu rumah gendang yang dulu didiami raja Manggarai. Disitu ada gendang terbuat dari kulit perut gadis yang diperebutkan 3 kerajaan (Todo, Bima dan 1 lagi lupa) waktu dulu. Daripada gadis tersebut direbut oleh raja Bima (kerajaan yang terkuat pada waktu itu) dan raja Bima akan menguasai Manggarai, maka gadis cantik itu dikorbankan oleh keluarganya. Dan kulit perutnya diambil sebagai symbol pusat kerajaan.

Nah yang di Wae rebo itu tadinya ada 7 rumah tetapi yang 3 rusak dimakan usia. Kemudian datanglah para donatur dari Jakarta yang dikepalai bpk. Yori Antar yang membantu pembangunan 3 rumah adat yang baru. Jadi bukan anggota komisi 3 DPR. Sekarang ada 6 rumah adat yang didiami penduduk Wae Rebo dan 1 rumah adat khusus untuk tamu.

Warga Wae Rebo dapat dikatakan masyarakat terasing, karena letak geografis yang berada di dalam lembah dan berjarak kurang lebih 9 km dari desa terdekat, yaitu Denge. Tahun 2008 pemerintah memutuskan agar sebagian warga yang semakin banyak berkembang-biak untuk pindah ke Kombo, tanah yang dihibahkan untuk warga Wae rebo, agar anak-anak Wae Rebo dapat memperoleh pendidikan dan fasilitas kesehatan. Jadi begitulah sampai sekarang di Wae Rebo kebanyakan warga adalah orang-orang tua yang tidak lagi kuat turun dan naik gunung serta anak-anak kecil dibawah 6 tahun. Pemudanya kebanyakan merantau. Pada akhir pekan anak-anak yang dititipkan ke saudara dan teman di Kombo akan kembali mendaki ke Wae Rebo, ke orang tua mereka dan akan kembali hari senin untuk bersekolah. Jadi otomatis warga Kombo adalah juga warga Wae Rebo. Kalau ada acara adat di Kombo, warga Wae Rebo turun gunung, begitu juga sebaliknya kalau ada acara adat di Wae Rebo.

Perjalanan masih terus mendaki, tidak ada menurun sedikit pun. Landai seperti tangga di carefour tapi terus naik sampe 9 km. Kebayang kan? Sebetulnya perjalanan menyenangkan juga karena udara segar dan ocehan burung-burung semakin ramai semakin keatas. "Masih jauh yah pak? Ini udah setengah blum?"
"Itu tuh. Tika lihat puncak yang itu nanti kita naik kesana dan Wae Rebo ada di belakangnya." Diam. Engga ngerti. Jalan aja dah. "Kalau orang Wae Rebo berapa lama ya mendaki begini."
"Yaaa kira-kira 2 atau 3 jam." Mmm kalau pendaki gunung mungkin juga seperti itu. Kalau saya…kira-kira 5 jam lah, termasuk foto-foto, ambil nafas,foto-foto lagi sambil ngatur nafas, berhenti sebentar di beberapa tempat belagak nanya flora dan fauna padahal ngatur nafas yang makin meggila, begitu seterusnya. Memang landai kok, tanjakannya tidak ada yang ekstrim, tapi konsisten sejauh sembilan kilometer!!

Sekitar jam 12 kami tiba di puncak Porocoko. Ini tempat satu-satunya sebelum kehilangan sinyal total saat di Wae Rebo nanti. Saya coba telpon Dedi teman saya di Ende nagih janji katanya mau sms nomor temannya yang di Moni. Akhirnya masuk juga tuh nomor. Pencet-pencet-pencet coba hubungi temannya yang di Moni bermaksud pesan penginapan di sanan takutnya seperti di Ruteng kalo gak book dulu kehabisan. Nyatanya percuma juga..nomor tidak bisa dihubungi coba periksa lagi teman anda yang memberikan nomor salah seharusnya pesannya begitu.

Sekitar 1 jam kami istirahat di Pocoroko. Saya mencoba juga rokok rakitan sendiri ala pak Frans. Engga sabar dia melihat cara melinting saya yang terlalu lama. "Sudah ini saja. Saya sudah buatkan." Udahlah biarin mau usaha sendiri. Tembakaunya tidak seperti lazimnya tembakau di Jawa yang dirajang halus. Ini di potong besar-besar. Huek. Engga enak banget. Pedas.

Perjalanan dari Pocoroko tidak terlalu banyak mendaki. Agak menurun di beberapa bagian. Untuk memberi semangat rajin sekali pak Frans bilang..."Tidak sampai 50 meter lagi kita sampai." Perasaan 50 meternya banyak banget dan berkali-kali dia bilang. Kabut masih tebal tapi hujan sudah berhenti.

Kami tiba di suatu tikungan tajam yang menurun dan berhenti sebentar. Tersingkaplah kabut dan memberikan pemandangan menakjubkan. Ketujuh mbaru niang (rumah adat) Wae Rebo terlihat berdiri kokoh diatas bukit kecil yang dikelilingi lembah yang sangat mencuri nafas (breathtaking view maksudnya hehe..) indahnya...

Dari atas tikungan itu perjalanan menurun landai ke desa Wae Rebo. Sekitar 200an penduduk Wae Rebo yang berdiam di desa ini. Hanya ada 7 rumah adat dan sisanya rumah-rumah yang terbuat dari kayu atau bambu biasa beratap seng. Maklum biaya pembangunan rumah adat seperti itu jaman sekarang bisa menghabiskan dana ratusan juta.

Kami langsung menuju rumah Gendang, rumah utama yang didiami kepala suku. Tamu wajib lapor dahulu. Ada upacaranya untuk terima tamu, menggunakan ayam berbulu putih dan itu urusan kepala suku dan pak Frans yang fasih berbicara dalam bahasa Manggarai. Saya engga ngerti setitik pun. Untuk membeli ayam berbulu putih tersebut pengunjung mengeluarkan 50.000 untuk sekali upacara itu. Katanya kalau selesai itu kita menjadi warga Wae Rebo. Rada ge-er juga saya waktu mereka mengatakan mereka sudah menunggu kedatangan saya dari hari kemarin. Tuh kan... sambil merasa berkuasa saya lemparkan pandangan menyalahkan ke pak Frans. Ya..ya..ya.. saya memang terpaksa datang ke acara pernikahan dulu. 

Kami bersantap siang di rumah gendang. Seperti yang saya katakan sebelumnya saya tidak tau dan tidak pernah bertanya mengapa disebut rumah Gendang. Tetapi di tengah-tengah ruangan. di suatu tiang tergantung beberapa buah alat tetabuhan. Mungkin ada hubungannya ya??

Ada niat untuk bermalam di rumah gendang saja bersama penduduk yang lain tapi kok saya engga kuat asap pendiangan di dalam rumah. Penduduk Manggarai biasa membuat dapur di tengah ruangan dan berbahan bakar kayu kering. Kalau sekarang karena pengaruh modernitas mereka membuat dapur sendiri di belakang rumah. Tapi dalam rumah adat tidak. Dapur tetap di tengah ruangan. Tanpa tahu mengenai keinginan saya mereka mengantarkan saya ke rumah adat khusus untuk tamu. Disitu dapur terletak di belakang rumah dan dalam bangunan yang terpisah.

Sore itu saya habiskan berkeliling di sekitar 7 rumah itu saja dan mencoba bermain sepak takraw tapi tidak bertahan lama, karena kaki cepat lecet terkena rotan. Lumayan sudah habis digares pacet tambahin cambukan rotan. Klop!

Tidak lama setelah saya datang ada pasangan suami-istri dari Australia check-in. Memang seperti itu Wae Rebo lebih dikenal oleh turis asing daripada turis lokal. Orang Indonesia yang datang ke Wae Rebo kebanyakan peneliti dan wartawan. Makanya saya sering juga ditanyai mau meneliti atau mau buat tulisan. Ya mau semuanya. Dah beres. Ga perlu repot penjelasan lagi. Mereka juga bingung mau tanya apa lagi. 

Malam itu saya berencana tidur agak larut untuk menikmati langit berbintang tapi terlalu capai karena peperangan dengan pacet akhirnya buyar. Belum jam 9 malam sudah terlelap.

Catatan: 
Legenda Putri Nggerang bisa dibaca di link ini. http://akparda.blogspot.com/2011/07/legenda-nggerang.html
Kalau cerita dari saya kurang reliable karena dari sumber-sumber yang ngga jelas :D 

Day 5. Sept 29. Thu
Jam 5 pagi cuaca masih remang-remang di luar. Berlagak jagoan, tenteng-tenteng kamera, mau ngejar sunrise, pasti keren banget kelihatannya. Baru berjalan sampai gerbang sudah berderap mantap kembali ke dalam rumah tamu. Dinginnya… seperti di dalam freezer. Langsung masuk lagi ke sleeping bag. Lupakan saja sunrise.

Sekitar Jam 7 baru berani keluar dari sleeping bag, kemudian berjalan-jalan di lingkungan sekitar. Trayek pertama adalah ke tikungan pertama kemarin saya melihat ketujuh rumah adat. Mengambil foto dari sudut itu pasti bagus di pagi hari. Sok tahu saya memilih jalan setapak, ternyata bukan jalan yang saya lalui kemarin waktu datang. Tapi biarlah sudah terlanjur kepergok mama yang sedang berada di depan rumah yang saya lewati. Dia sedang menjemur daun pandan. Untuk dibuat menjadi tikar atau keranjang katanya. Kemudian dia menawarkan saya mampir ke rumahnya.

Di dalam rumah semua orang sudah sibuk. Prianya bersiap keluar rumah untuk memetik kopi. Menanam dan meminum kopi memang kegemaran masyarakat disana. Tadinya mereka menyuling tuak dari nira, tetapi tetua adat telah melarang minuman tersebut  dan mereka menggantinya dengan menanam kopi. Sepertinya efeknya sama saja ya..dua-duanya juga bukan minuman yang baik bagi tubuh hehe.. Karena kopi minuman kegemaran mereka, bersiaplah kalau ada melancong kesana dan mampir ke rumah-rumah pasti ditawari kopi. Kebetulan di rumah yang ini saya mampir dan masuk ke dapur jadi tahu mereka mau menyiapkan apa, dan saya sempat menjelaskan kalau saya tidak minum kopi. Aman.

Dari rumah tersebut perjalanan saya lanjutkan ke tikungan tujuan saya. Setelah puas jepret-jepret, saya berniat kembali turun dan berjalan ke tempat lain. Baru hadap kiri tiba-tiba ada seorang bapak disamping saya dan tersenyum. Latah langsung keluar dah. Benar-benar saya engga merasa apalagi mendengar ada orang di samping. Untung dia engga ngerti apa yang saya latahin dan dia langsung mengeluarkan buah markisa dari tas ranselnya dan memberikan satu kepada saya. Kalo yang satu ini engga nolak sama sekali. Di Wae Rebo selain kopi yang menjadi andalan, markisa juga. Mereka menyebutnya markis. Ngobrol-ngobrol sebentar kemudian saya melanjutkan berkeliling dan yah kalau kepergok penduduk pasti berhenti dan diminta mampir ke rumahnya. 

Di satu rumah, karena yang menawari kakek-kakek, kalau yang wanita biasanya langsung mengajak saya ke dapur (hehehe…seneng aja sih kan gudangnya makanan walaupun berasap), maka saya diajak ke ruang tamu. Kewaspadaan saya jadi hilang karena asyik ngobrol ngga nyambung. Saya ngobrol bahasa Indonesia, si kakek asyik berbahasa Indonesia campur Manggarai dialek Wae Rebo. Tiba-tiba dari dalam rumah muncul anaknya membawa 2 gelas kopi. Waaa…ini dia. Mau menjelaskan sudah terlambat dan malah merepotkan dia nantinya. Akhirnya terpaksa saya minum juga sedikit biar yang punya rumah puas. Ngobrol sampai lamaaa….eh ternyata yang punya rumah ga puas. Tidak enak kopinya? Eh enak-enak… minum lagi… dalam hati sangat pediiihh.

Sang kakek berkata kalau dia batuk sudah lama tapi tidak kunjung sembuh, mungkin sudah tua. Saya tanya "Sudah ke puskesmas?" Dia bilang "Sudah tidak kuat lagi berjalan turun gunung." "Kalau begitu sudah coba pengobatan tradisional Kek? Dengan jahe misalnya."  "Jahe? Bagaimana." Bergaya seperti tabib sok tahu saya katakan "Jahenya dihancurkan dan kemudian direbus. Airnya diminum. Enak kan kek daripada obat, pahit." "Ya..ya.. saya akan coba katanya sambil manggut-manggut." Baguslah dia ngerti.

Kemudian dia ambil sesuatu dari kantong plastik yang tergantung di dinding. Dia tunjukkan bendanya pada saya. Ooooo….ini aspirin. Masih terbungkus rapi. Didalamnya ada 4 atau 5 strip obat. "Untuk apa itu?" Dia tanya. Saya baca instruksinya bahasa Perancis. "Ini dari orang Perancis yang melancong kesini ya kek?"  "Ya. Saya tidak tau dia orang mana tapi dia kasi saya ini." Kalo dari Columbia datang dan kasih bubuk putih gimana yaaa hehehe… "Ooo… ini buat sakit kepala atau sakit gigi, pokoknya untuk mengurangi nyeri karena penyempitan pembuluh darah." Sok tau banget yaa…tapi seingat saya memang fungsinya begitu waktu saya mendengarkan si Mehmed Oz. Tapi mana si kakek tau penyempitan pembuluh segala. Ya pokoke begitulah. "Tapi yang jelas ini bukan obat batuk ya, Kek. Trus ini juga ada tanggal kedaluarsanya diingat-ingat kalau sampai tahun ini belum juga habis obat ini harus dibuang." Oh ya. Sebentar kemudian dia masuk lagi ke dalam dan keluar dengan beberapa strip obat lagi. Walaaaah…. Mana saya ngerti. Memangnya saya ini apoteker. Wah maaf kek. Engga bisa bantu. Kalau obat decolgen, inza dan lain-lain obat warung saya ngerti. Kalau yang bentuk seperti ini tanya mantri di pustu aja ya..atau titip orang untuk tanya.

Lama juga saya kluyuran. Waktu kembali ke rumah tamu, ternyata penghuni lainnya sudah selesai sarapan. "Kemana saja Tika?" tanya pak Frans. "Kami tunggu tidak datang-datang. Kami sudah selesai sarapan dari tadi." Cek jam wah iya dah jam 9 pantesan lapar.
"Mau kemana pak?"
"Mau kesana bantu buat dapur."
"Boleh saya ikut?"
"Mari." Tapi mama pengurus dapur menggamit saya. "Masuk sini dulu. Sarapan dulu." Menu sarapan adalah ubi talas rebus dengan potongan-potongan raksasa.

Selesai berjuang menghabiskan sarapan saya bergegas ke tempat pembangunan dapur dengan diantar ibu pengurus dapur. Masih mampir lagi ke rumah lain. Mari mampir kesini dulu. Yadeh. Dekat kok rumahnya ada di sebelah. Tapi namanya juga di desa sebelahan berjarak beberapa meter. Bukan berbagi tembok.

Beberapa pria membantu memasang kerangka dapur. Hebat ya tetangga saling membantu menyelesaikan rumah. Coba saya punya tetangga begitu. Tinggal minta bantuan mengecat dinding dan membetulkan atap bocor. Sementara para pria mengerjakan dapur yang wanita menyiapkan makan siang di rumah sebelah yang tadi. Baru dari rumah yang tadi saya disediakan minum. Disini lagi. Padahal yang menyiapkan minum mama yang itu juga. Lah kan tadi sudah. Iya tapi tadi kan disana. Disini belum. Haduh kan tidak setiap rumah punya toilet. Kalau musti berjalan pergi pulang ke rumah tamu yang ada toilet ya menghabiskan energy dari talas tadi. Bersama mama-mama yang lain saya juga mencoba mengunyah sirih. Heheh…sama saja seperti rokok pak Frans rasanya. Aneh.

Begitulah kegiatan saya hari itu. Kluyuran kesana-sini sambil jepret-jepret dan berusaha kalau bertamu di dapur saja dimana tingkat kewaspadaan saya tinggi.

Sore hari Yustin yang tinggal di rumah sebelah rumah tamu mengajak saya berjalan-jalan.
"Mari ikut pesiar katanya." Pesiar? Oh engga pake kapal toh. Kami mampir juga di rumah anaknya kakek yang tadi pagi bertanya tentang obat pada saya. Tapi ini anaknya yang lain lagi dan sang kakek ikut menemui juga.
Saya tanya "Kek sudah coba air jahenya."
"Mmm…ya..saya coba.." dia bergumam dalam bahasa Manggarai. Kemudian Yustin menjelaskan. "Kakek tidak mengerti obat apa itu jahe?" Yaelah. Tadi manggut-manggut ga taunya bingung. Ternyata di sana jahe disebut Halia. Oalah. Waktu saya bilang "Halia kek.. direbus…" kali ini dia manggut-manggut sambil tertawa lebar.

Jadi ngobrol tentang obat dari alam dengan Yustin. "Ya kami kalau harus ke dokter sangat jauh tempatnya. Di Denge ada mantri tapi dia pernah beberapa kali memberi obat kedaluarsa. Tadinya kami tidak tahu. Setelah kebetulan ada bidan dari Dintor yang mampir dan dia melihat obat tersebut dia bilang ini sudah tidak boleh lagi diminum dan dia juga marah-marah. Semenjak itu kami tidak lagi mau datang ke berobat ke Denge. Kalau terpaksa ya ke Dintor tapi jauh. Jadi kami jarang berobat." Wah bagaimana ini. Kebutuhan paling dasar selain sandang, pangan dan papan, kesehatan dan pendidikan juga 2 hal yang penting. Menyedihkan. Sayangnya saya juga bukan orang yang mengerti dunia medis. Saya cuma bisa berjanji kalau ada buku-buku pengobatan alami nanti coba saya kirimkan. Kebetulan ibu saya senang mengkoleksi intisari edisi ekstra. Mungkin beberapa bisa membantu.

Malam itu kami mengobrol di rumah tamu sampai genset mati (sekitar jam 10 lewat). Oh ya kebiasaan masyarakat di sana untuk menghormati tamu mereka menemani kami. Jadi tamu tidak ditinggal sendiri begitu saja. Selama 2 malam beberapa warga ikut tidur dan ngobrol di rumah tamu hingga larut malam. Malam itu semua langsung terlelap begitu genset mati kecuali saya. Bosan main game di hp menunggu ngantuk yang tidak juga datang, saya melirik jam. Jam setengah 12.

Sepertinya langit sangat cerah malam ini. Saya keluar dan memang langit sangat terang bertabur bintang. Udara juga tidak sedingin pagi hari tadi. Keadaan sekitar gelap gulita total. Suasana sangat sepi. Semua sudah terlelap. Bahkan ayam dan anjing yang biasa berkeliaran pun terlelap. Tapi langit tidak. Bintang-bintang semuanya bersinar terang.

Saya kembali masuk ke dalam mengambil kamera dan tripod. Masih penasaran mencoba membuat stars trail. Coba pencet shutter 5 menit. Berhasil! Berhasil bertahan mencet maksudnya. Gambarnya tetap gagal total. Coba lagi. Lagi dan lagi. Saya cek jam di hp sudah lewat tengah malam. Biarin… masih kuat menahan udara dingin. Lanjut. Pencet lagi agak lama. Cek lagi. Halah! Tetap sama. Dari belakang saya juga ada hembusan nafas dan dengusan sebal. Huh! Secara reflex tangan saya meraih senter di saku jaket. Sorot ke kiri. Kosong. Ke kanan. Kosong. Ke atas, bawah, melingkar, ke berbagai penjuru. Tidak ada mahluk hidup lain yang terjaga disekitar saya kecuali saya. Ada suara burung dan lolongan anjing di kejauhan. Siapa tadi yang mendengus?? Malas berpikir lebih jauh, saya bereskan tripod dan kamera pelan-pelan. Berjalan kembali ke rumah tamu dengan santai. Begitu meraih gagang pintu bagaikan kilat segala gerakan saya dan langsung menyusup ke kantong tidur hingga menutupi seluruh muka. Sembunyi.

Day 6. Sept 30. Fri.

Rencana saya semula adalah menghabiskan 3 malam di Wae Rebo tetapi karena ada hajatan maka tertunda sehari. Hari jumat telah tiba dan saya harus turun untuk meneruskan perjalanan ke arah timur. Setelah sarapan kami berpamitan. Sedih juga rasanya karena tidak tahu kapan lagi bisa berkunjung kesana. Selain letak yang sangat jauh, tiket pesawat kesana mahal banget. Air Asia please buka trayek ke Indo timur. Amin.

Sekitar jam 8.30 kami turun gunung. Perjalanan turun kelihatannya mudah tetapi saat mulai memasuki musim hujan cukup licin juga. Di beberapa tempat saya melihat seperti longsoran tanah atau bekas orang menarik kayu hutan. Menurut pak Frans itulah jalan nenek moyang. Hah miring lebih 60 derajat begitu? Halah ekstrim juga. Kemarin waktu naik sama sekali tidak memperhatikan karena sibuk mengatur nafas. Sekarang masih ada yang menggunakan jalur itu? Masih... kalau yang ingin cepat-cepat. Kalau jalan yang kita lewati ini kan jalan untuk turis. Dulu memang orang sampai memanjat segala, tapi kemudian ada turis yang protes maka sekarang jalan jadi lebih jauh. Putar-putar dulu.

Jam 11 kami tiba di Denge. Kembali anak-anak di SD Denge ramai menyambut kami bak pahlawan perang (iya perang melawan mahluk penghisap darah). "Halo!! Halo!! Turis!!" Mereka menyapa dari dalam kelas sambil melambaikan tangan Laah orang mau pulang kok Halo? 

Dari Denge kami ke Kombo menumpang truk pengangkut material bukan taksi. Jadi gratis. 

Sambil makan siang saya sempat menanyakan nama pulau Mules kepada mama Seri (istri pa Frans). "Ah itu salah penyebutan. Dulu orang menyebutnya nusa Molas. Artinya pulau cantik. Karena banyak pendatang namanya jadi begitu." sakit perut. hehee...

Dari Kombo saya langsung kembali ke Ruteng dengan ojek setelah makan siang. Dengan ojek jarak tempuh 6 jam dengan taksi bisa dicapai 2 hingga 3 jam. Ongkos 100.000 hingga 125.000 tergantung menawarnya. 

Setelah melewati desa Narang perjalanan menanjak dan melewati perbukitan. Saat itu hujan mulai turun. Makin lebat dan jalanan makin berkabut. Abraham yang membawa ojek rajin sekali bertanya jam berapa sekarang. Yeee...kan repot harus pegangan, jagain barang, benerin topi yang bolak-balik berubah posisi kena angin megangin tutup hood jaket masih ditambahi tugas mengambil hp dari kantong dan ngecek waktu. Kenapa sih ni orang? Belakangan baru tau kalau dia berusaha mengalahkan rekornya sendiri. Rekor terbaik dia adalah satu setengah jam berkendara dari Ruteng ke Kombo. Ckckck... 

Jam 3 sore kami tiba di tempat kak Tres. Kak Tres sedang ada pesta kata pak Leo (suaminya, sang empunya rumah, kakaknya pa Frans). Waa sudah duluan dia tiba disini. Walaupun punya rumah di Ruteng, pak Leo mengajar di Mapau, desa dekat pantai, terletak diantara Narang dan Dintor. Kemarin kami bertemu sebelum ke Wae rebo tetapi hanya sebentar.

Hari itu sangat melelahkan sampai kaki saya sakit semua. Bukan sakit karena jalan kaki ke dan dari Wae Rebo tetapi sakit setelah duduk 2 setengah jam di atas motor ojek. Memang cepat sampai dan engga bareng kambing, babi tetapi risikonya lain lagi. Lesson learned: setiap moda transportasi memberikan masalah tersendiri bagi penggunanya tinggal kita aja siap ambil risiko yang mana. hehe..

Setelah berkali-kali kehujanan malam itu tubuh saya terasa demam. Waduh gimana ini?? Kan saya haru melanjutkan perjalanan ke Ende. Sudahlah pikirkan besok saja.

Day 7. Oct 1. Sat.
Hari kesaktian Pancasila.

Hari itu saya bangun agak siang dengan rasa sakit di beberapa lokasi di kaki saya. Ini pasti gara-gara ngangkang di belakang motor selama hampir 2 jam setengah tersentak beberapa kali karena jalan yang hancur plus cuaca hujan dan berkabut tebal.  Demam menghilang sendiri secara ajaib tetapi datang tamu yang lain, pilek. Apa ini juga kualat gara-gara motretin bocah-bocah ingusan, ga tau juga yah. Terpaksa rencana ke Ende saya tunda hingga esok. Kalau dipaksa pergi juga bisa-bisa saya dikembalikan dalam kantung ke orang tua saya.

Satu, dua jam berlalu, bosan juga istirahat. Saya putuskan untuk pesiar di sekitar Ruteng saja. Ingin ke danau Ranamese, tapi gara-gara diperingatkan teman-teman disana kalau status gunung Anak Ranaka sudah siaga 1. Gunung Anak Ranaka terletak di timur Ruteng dan danau Ranamese berada di kaki Ranaka. Todo juga sempat terlintas dalam benak, tapi kemudian tidak jadi karena toh sudah ke Wae Rebo. Mungkin nanti kalau ada waktu setelah pulang dari Ende ke Labuan Bajo.

Saya keluar rumah dan bertemu om Heri (dia yang minta dipanggil begitu). "Mau pesiar ya?"
"Iya mau ke Liang Bua. Ada kendaraan umum kesana gak ya?"
"Sebentar biar adik saya yang antar." Langsung dia telpon adiknya.
"Cepat kesini. Penting!" Laah? Begitu aja? Gile juga nih kakak.
"Punya kenalan di Ende atau Moni gak om?"
"Oh ada. Mau ke Kelimutu ya? Sebentar." Telpon lagi. Selesai. Dia beri saya beberapa nama di Ende dan Moni beserta nomor telpon. Oke deh Kelimutu beres. Liang Bua sekarang. Datanglah adiknya (ternyata saudara bukan adik kandung) terburu-buru. Kasian…. Kecele setelah tau penting itu cuma ngojekin saya ke Liang Bua.

Jalan ke Liang Bua tidak berbeda jauh dengan jalan ke Dintor. Rusak di sana-sini. Ironis kalau kita melihat kantor pajak di kota Ruteng yang megah dan modern tetapi pembangunan infrastruktur public tidak masuk perhatian sama sekali, padahal Flores banyak dihinggapi turis asing.

Saya mengira Sugi mengenal baik jalan ke Liang Bua, ternyata kami harus berhenti beberapa kali untuk memastikan arah. Tibalah kami di ujung pertigaan, di depan rumah yang sedang mengadakan misa. Dari dalam keluar seorang pemuda yang ternyata adalah penunggu gua. Dia mengantarkan kami ke gua (liang) Bua. Hari itu panasnya minta ampun. Berada di ketinggian 1200-1500 m dpl, Ruteng dingin ngalahin freezer di rumah saya kalau pagi kalau siang lumayan panas. Liang Bua berada di sekitar 500an m dpl, panasnya dasyat. Tetapi begitu tiba di mulut gua yang besar itu udara berganti seperti masuk ke gedung-gedung ber-AC di Jakarta.

Liang Bua merupakan tempat tinggal orang-orang Flores di jaman pra-sejarah (homo floresiensis). Pada tahun 70-an ditemukan fosil-fosil purba dan mulai terkenal beberapa tahun belakangan ini setelah muncul film documenter tentang ditemukannya kerangka manusia hobbit di Flores. Kerangka yang ditemukan yang terlengkap adalah kerangka perempuan. Sebanyak 12 kerangka lain juga ditemukan di gua tersebut. Diperkirakan homo floresiensis tidak lebih tinggi dari 110 cm. Saat ini ada keturunannya yang masih hidup dan salah satunya tinggal di rumah yang sedang mengadakan misa tadi. Karena sudah berevolusi dan mungkin juga pengaruh perbaikan gizi keturunan homo floresiensis sekarang sudah lebih tinggi. Sang guide menawarkan kalau saya mau memotretnya harus mengeluarkan 50.000. Hehehe…terima kasih ga usah repot-repot.

Liang Bua gua yang sangat besar. Memiliki beberapa ruang lagi di dalamnya. Di ujung sebelah dalam ada cabang berupa gua vertikal yang lumayan dalam sekitar 23 meter. Belum banyak penelitian di cabang gua tersebut hingga kini. Nah tuh teman-teman penggemar olah raga gelap ini mungkin ada yang berminat mengeksplorasi lebih jauh. 

Untuk makan siang ingin sekali saya mencicipi kuliner lokal. Tapi sayang tidak ada. Restoran dan warung-warung di Manggarai menjual makanan biasa. Malah rm padang berceceran di berbagai tempat. Sayang. Kuliner lokal seharusnya bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal.

Sudah mantap dengan keputusan hari minggu besok berangkat ke Ende, sore harinya saya berburu travel ke sana. Niatnya dengan travel Gunung Mas. Baru sampai di kantornya blum juga buka mulut mba penunggu kantornya langsung nyerocos semua tujuan full. Kemudian dia beri alamat travel lain. Ini lewat jalan ini kesana, kesana, bla bla bla… di depan pasar yang kantornya keciiiilll itu. Puas banget dia ngomong kecil. Semacam ada dendam pribadi.

Travel itu Bajo Express namanya. "Masih ada tempat buat besok ke Ende. 120.000. Dijemput dimana?" "Nggg…saya engga tau persis alamatnya. Besok saya aja yang kesini deh. Dekat kok."
"Ya sudah datang setengah tujuh disini ya. Mobil berangkat jam 7." Deal.

Day 8. Oct 2. Sun.

Jam 5 pagi saya sudah terjaga. Semua bekal sudah beres dan saya siap berangkat. Tapi masih banyak waktu sebelum saya ke tempat  travel. Ya sudah nonton TV saja. Pak Leo dan kak Tres terbangun karena penghuni rumah yang lain mulai sibuk bersiap ke gereja. Eh hari minggu ya. Ya sudahlah menikmati alam, mensyukurinya dan menjaganya juga termasuk bentuk ibadah kok (menurut saya…ngeles). Daripada mereka yang sibuk pergi ke rumah ibadah tapi tidak menghargai alam, malah nyampah dimana-mana, menebangi hutan dan tidak hemat energy (pokoke segal kelakuan merusak alam) sama aja menghina sang Pencipta alam. Iya gak sih? Percuma kan ibadahnya jadi cuma sekedar ritual tanpa diiringi perbuatan.

Baru kakak Tres mau menyiapkan sarapan untuk saya, halah repot banget sih (basa-basi), tiba-tiba cell saya berbunyi. Saya melihat jam belum jam setengah 6. Saya jawab. "Halo ibu Tika? Sudah siap? Saya jemput saja ke tempat ibu. Alamatnya mana?" Kakak Tres yang kemudian menjawab alamat lengkap. Tinggal tunggu saya 1 jam lagi paling. Saya ke belakang mau membanti kakak Tres menyiapkan sarapan, telpon berbunyi lagi. "Ini saya sudah di pertigaan rumah gendang." Hah? Blum ada 5 menit yang lalu. Gimana sih. Kan janjinya saya datang ke travel jam 6.30. Berangkat jam 7. Lagi juga ini masih jam setengah 6 lewat. "Ya habis ini kita segera berangkat." Sial! Ga pake sarapan saya langsung berangkat ke tempat travel menunggu.

Tiba di tempat travel menunggu, ternyata mobil masih kosong. Yah saya yang pertama dijemput. Dasar supir angkot reseh! Setelah berpamitan dengan pak Leo dan kakak Tres yang mengantar hingga ke depan, saya masuk ke mobil. Mobil travel ada beberapa macam. Yang saya naiki ini kapasitasnya seharusnya untuk 9 atau 10 penumpang. Ada mobil travel yang lebih kecil seperti avanza atau APV yang muat lebih sedikit orang, tetapi tarifnya lebih mahal, 150.000 Ruteng-Ende. Kalau mau yang lebih murah lagi bisa menggunakan bus. Tetapi bus memiliki jadwal tertentu dan lebih lama. Taksi hanya untuk transportasi dari dusun ke dusun atau ke kota terdekat.

Benar juga. Setelah saya naik. Mobil travel masih pusing-pusing di kota Ruteng pagi itu. Mencari penumpang. Saya pikir memang lagi sepi engga ada penumpang lain selain saya. Yah biarlah mereka ngejar setoran mungkin. Walaupun begitu tetap saya ngomel-ngomel ke supir dan kenek karena blum sempat sarapan. "Tenang aja nanti sarapan di jalan" mereka bilang enteng.

Mobil travel berhenti di depan hotel Rima, kenek turun dan masuk ke hotel. Ooo gitu yah caranya cari penumpang, pikir saya. Tak lama dia keluar lagi dan mobil langsung melanjutkan perjalanan tanpa ada penumpang baru. Lho aneh? Berjalan sekitar 200 meter kedepan, terlihat seperti ada calon penumpang. Benar naiklah penumpang itu. Yang ini tidak pake book perjalanan. Bisa juga dengan cara itu kalau ada cukup tempat. Mobil maju sedikit kemudian berbalik arah ke hotel Rima lagi. Gimana sih ini? Bingung. Ini. Ada 4 bule yang belum bangun tadi mereka mau ke Bajawa. Yaaa ampun. Sampai di depan hotel, sepasang turis Perancis (salah dua calon penumpang ke Bajawa) yang kemarin ketemu waktu ke Liang Bua sedang sarapan sambil online dengan laptop. Enak benarrrr!!! Mereka sarapan ditungguin saya kelaparan omel saya ke supir yang cuma ketawa-ketawa. Diskriminasi nih! Kalau bule aja ditungguin kalo sesame indo di buru-buru. Tadi pagi saya jalan keluar gang sudah di klakson terus. Wek! Ga adil.

Akhirnya mobil travel mulai bergerak keluar kota Ruteng jam 7 kurang dan setiap ada calon penumpang diangkut. Entah bagaimana mulanya kok tiba-tiba saya menjadi penerjemah dadakan. Padahal saya diam saja di mobil engga ngobrol apapun dengan para bule. Tapi si kenek tau-tau ngoceh "nanti duduknya disini…sini… nanti tolong mba bilang ke mereka gini..gini.."
"Yaudah nanti saya bilang ke mereka tapi saya duduk di depan. Ya. Di pinggir. Kamu yang ditengah."
"Wah tidak bisa. Kan saya nanti sibuk naik turun urus barang penumpang."
"Masa bodo saya maunya di pinggir biar bisa lihat keluar dengan bebas. Tadi kamu yang buru-buru pengen jalan sampai saya ga sempat sarapan." Saya menang. Si kenek cuma nyengir. Untuk menebus kesalahannya, saya boleh ikut menghabiskan bekal mereka berupa roti bagel keras, tapi lumayan mengenyangkan.

Jalanan ke Ende tidak kalah jeleknya dengan jalanan di pedesaan. Aspalnya memang lebih halus tapi banyak lokasi yang tertutup tanah longsor atau sedang ada proyek pelebaran jalan abadi. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat indah, melewati hutan pada saat memasuki area Ranaka, terlihat lembah hijau dan indah di kejauhan dan tebing-tebing yang menakjubkan. Dari jauh terlihat juga model sawah laba-laba. Itu adalah metode pembagian harta maksudnya biar rata jadi dibuat lingkaran.

Kemarin sore sempat bimbang juga apakah jadi ke Ende atau tidak, karena teman pak Leo, yang juga menginap di rumah pak Leo bertanya mengapa pergi ke arah timur tidak ke Labuan Bajo saja. Kan toh tiket pulang juga dari Labuan. Eh memangnya kenapa? Status anak Ranaka sekarang sudah siaga 1 dan bupati Manggarai tidak boleh kemana-mana harus standby di kota jika ada keadaan darurat. Stadion sudah dikosongkan, siap untuk para pengungsi. Yaa….terus? Perjalanan ke Ende kan lewat kaki gunung Ranaka. Dekat sekali. Yah masih 5 hari lagi masak di Labuan terus…kan sayang. Nggg….kalau saya melancong ke Bajawa atau Aimere saja. Gimana? Sama saja semua jalan lewat jalur itu. Waduh! Serem juga. Bukan apa-apa, kak Tres nimbrung, sayang nanti kalau waktu gunung meletus mba Tika masih di Kelimutu dan tidak bisa kembali nanti. Wah iya yah, jalurnya ditutup yah. Lewat utara Flores kan ada jalan? Ya tapi jalan dusun dan tidak ada kendaraan umum lewat sana. Nah luh! Jadi jiper. Takut tiket angus aja. Kalo harganya cebanan mah biarin. Laah ini 640.000. Kalau terpaksa beli tiket dadakan Maumere-Denpasar iya kalau dapat, sekalipun ada pasti harganya gila-gilaan bisa 1.5 jeti lebih. Yaaah… Pagi tadi bangun masih bimbang juga mau lanjut ke Ende atau engga tapi supir yang kelewat semangatini ternyata membuat saya berangkat juga.

Ketakutan saya di hari kemarin hilang tak berbekas ketika melewati daerah gunung Ranaka yang sangat indah menakjubkan. Supir menawari saya untuk berhenti, ambil foto katanya. Ya memang bagus tapi kok rasanya pusing kalau mikirin jalan yang sempit, jurang yang dalam dan lembah yang luas dan indah. Gak deh. Jalan aja terus nanti turis-turis itu marah kalau kebanyakan berhenti, alasan saya. Tapi pak supir kayaknya bangga banget dengan keindahan Flores hingga sebentar-sebentar dia menunjuk ambil foto itu, ambil foto ini dan dia melambatkan mobil. Weleh…kapan nyampenya paaak…

Mobil sudah penuh. Setiap baris yang seharusnya diisi 3 orang sudah terisi 4 orang. Para turis bule hanya bisa pasrah saja duduk berhimpitan. Untung saya duduk di depan jadi terhindar dari sempit-sempitan di belakang. Memasuki Borong mobil kembali mengangkut penumpang. Kali ini 3 wanita muda.

Kami meneruskan perjalanan. Kira-kira satu jam keluar dari Borong, para penumpang wanita tadi meminta berhenti untuk ke toilet. Baru sadar juga saya kalau selama 4 jam lebih perjalanan tidak terlihat satupun SPBU. Kalau di Jawa kita bisa berhenti dan SPBU untuk menumpang ke kamar mandi. Kalau di Flores tidak mungkin. Karena SPBU hanya ada di kota besar seperti Ruteng, Bajawa, Ende, Maumere, dsb. Keluar kota sedikit saja kita harus menggunakan bensin eceran. Wah susah juga ya untuk kaum perempuan kalau mau jalan keluar kota di Flores. Karena ketiga penumpang tadi semakin histeris dan permintaan berhentinya semakin lama terdengar mengutuk bukan lagi memohon, kami berhenti di depan suatu rumah. Untung juga saya tadi tidak makan pagi dan minum heheh…jadi ga ikutan heboh.

Berhenti makan siang di Aimere. Aimere adalah desa pantai dan terkenal dengan tempat penyulingan tuaknya di Sufi. Hampir setiap rumah di pinggiran jalan antar kota itu memiliki penyulingan. Saya ingin membeli satu. Menurut penjelasan kenek sebelum kami masuk ke area ini ada dijual di botol-botol aqua kecil seharga 20.000. Ooh bolehlah kalau yang kecil. Untuk mencoba saja. Dalam benak saya botol aqua kecil yang 300 ml. Setelah tau ukuran botol kecil adalah 600 ml lah nggak jadi ah. Untuk apa segitu banyak. Blum tentu saya suka. Nanti kalau ga habis malah berat-beratin bawaan. Lagian juga harganya 25.000. Harga wisatawan mungkin. Kalau harga supir yang 20.000.

Tak lama kami memasuki kabupaten Ngada. Udara di daerah ini lebih dingin lagi daripada di Manggarai dan mata masih tetap dimanjakan dengan pemandangan indah.

Kami tiba di pertigaan dan supir menghentikan mobil. Di depan ada petunjuk Bajawa belok Kiri. Kenek berkata kepada saya, "Tolong katakan bule-bule itu kalau ini Bajawa. Dia kalau mau lanjut ke hotel biar pake bemo saja." Saya ga terlalu tahu ya saya pikir memang sudah Bajawa, saya katakan pada para bule apa kata kenek. Bule-bule itu cuma tersenyum sambil geleng-geleng. "No, this is not Bajawa. Bajawa is still 3 kms from here and we paid to Bajawa." Yah jadi ribet dah. Setelah ngotot-ngototan akhirnya pak supir sambil setia ngedumel mulai dari pertigaan hingga depan hotel yang dibooked para turis mengendarai mobil kayak kesambet, padahal tadinya dia benar-benar nyetir dengan sangat hati-hati.

Menurut saya si bule ya benar, dia taunya bayar untuk ke Bajawa. Pertigaan tadi jalan luar kota. Memang ga jauh kota Bajawa dari pertigaan tadi. Tapi engga adil kalo mereka dilepas disana. Sedangkan si supir alasannya ada benarnya juga. Menurutnya mobil ini trayek Ruteng-Maumere, bukan Ruteng- Bajawa. Kalau Ruteng-Bajawa, pasti mereka kami antar sampai tujuan. Karena bukan trayeknya jadi berhenti di tempat mobil ini lewat saja. Laaah siapa salah entah si agen atau siapa, saya kepaksa menjelaskan ke bule-bule itu dah. Kan ga enak buat pariwisata kalau si supir marah-marah terus.

Baru terpikir untuk mengirim sms ke om John. Laaah…telat banget nih dia mungkin sibuk atau engga peduli. Saya sms kalau saya sedang dalam perjalanan ke Ende. Salah saya berprasangka, dia cepat juga menjawab sms. Ya semua beres. Nanti ade kaka temani cari penginapan di Moni. Weh katanya om Heri saya suruh panggil dia om John. Si om yang ga mau hahaha…

Keluar dari Bajawa efek ngantuk setelah makan siang mulai bekerja. Saya pindah ke bangku belakang yang mulai agak kosong. Di depan kurang nyaman buat tidur sampai nganga. Banyak debu.

Melewati kabupaten Nagakeo sudah tidak sadar penuh. Tiba-tiba mobil sudah memasuki kabupaten Ende. Jalanan lebih mulus, disebelah kiri tebing dan disebelah kanan terhampar pemandangan lautan luas. Waktu sudah menunjukkan jam 2 lewat.

Memasuki kecamatan Nangapanda, terlihat pasir pantai berwarna hitam, tetapi air laut sangat biru. Aneh ya. Kalau di Ancol pasir hitam, air laut pun bersaing hitamnya. Terlihat diatas hamparan pasir tersebar bebatuan berwarna turquoise (kali…. Pokoknya warna antara biru dan hijau). Macam-macam. Ada seukuran 2x3, 4x6, ukuran batu bangunan atau foto? Mungkin batu-batu itu yang membuat air laut membiaskan warna biru langit yang indah. Saya perhatikan tebing-tebing yang menjorok kearah laut pun berwarna sama. Indah sekali!

Jam 3 lewat mobil baru memasuki kota Ende. Sempat cemas juga bagaimana kalau nanti saya juga dibuang seperti bule-bule tadi. Kalau sama bule si supir mau ngalah. Kalau sama saya pasti aja dia tega. "Tenang aja mbak, jalan ke Maumere memang lewat Ende nanti kami antar." Legaaa….

Lewat jam 4 sore akhirnya saya tiba di rumahnya pak RT John. Oh pak RT toh. Dia sudah menunggu kedatangan saya dari kemarin ternyata dan berniat mengantar pagi tadi. Hehehe... maap. Salahin nih pilek. Sama seperti di Ruteng langsunglah semua keluarga repot. Halah. Repot lagi karena mereka sibuk mencemaskan saya yang bepergian sendirian cewe pula. Baru selesai kuliah terus berlibur? Hah? Iya mungkin yah. Selesai kuliah beberapa tahun yang lalu saya memang ingin berlibur tapi bokek total baru bertahun-tahun kemudian punya cukup uang hehehe….
"Nekat yah" kata iparnya kak John.
"Ah engga juga kok. Banyak cewe jalan-jalan sendiri, ke luar negeri malah."

Kak Heny, ipar kaka John juga bertanya "Bagaimana kok bisa tau alamat sini." Oh saya dapat dari om Heri, gini...gini..gini.. Heri? Heri yang mana? Kak John menjelaskan. "Ah Heri itu sudah tidak ada kabarnya lagi sudah berapa tahun. Dia itu kan orang ambon."
"Oh dia bukan saudara toh." "Bukan (dengan nada khas orang Indonesia timur). Dia itu kan merantau ke Flores. Terus tinggal disini. Sudah lama dia tidak ada kabar."
"Iya saya juga sempat bingung kemarin dia tau-tau telepon." kata kak John. "Sudah lama tidak ada kabar eh malah nitip beban pula ya...hehehe... maap ngerepotin."
"Oh gapapa.. kita sudah biasa. Malah dulu itu sering orang dari ambon dari Sumba 1 truk itu datang dan tinggal disini." Wah baik juga ya keluarga ini. Menghidupi banyak orang yang tidak dikenal sebelumnya bahkan. Hebat. 

Mereka ribut sendiri memutuskan bagaimana saya ke Moni. Moni adalah desa di kaki gunung Kelimutu. Wisatawan biasa bermalam di Moni sebelum keesokan-harinya menengok Kelimutu. Jam segini angkutan umum sudah tidak ada. Kalau kak John mengantar nanti dia pulang kemalaman. Kalau pake travel….bla..bla..bla.. biar mereka sibuk sendiri saya ngeteh aja sambil menikmati ributnya mereka.

Ya sudah gini aja kakak-kakak yang baik…"saya malam ini cari penginapan saja di Ende. Besok agak siang baru jalan ke Moni."
"Lho kenapa tidak pagi-pagi saja."
"Ngg…saya kan pengen ngelihat sunrise di Kelimutu jadi maunya naik ke Kelimutu jam 4 pagi. Ada nggak angkot jam segitu?
"Ngga ada. Kalo ojek dari Moni bisa di pesan jam segitu suruh antar ke atas." Nah tuh.
"Yaudah saya bermalam dulu di Ende, besok jalan-jalan sebentar baru agak siang ke Moni."
"Okelah kalo begitu."
Ada yang menawari saya bermalam saja di rumah mereka. Tapi saya ingin istirahat total. Kaki masih sakit dan pilek tambah parah. Kalau saya bermalam di rumah mereka, bisa ngobrol terus sepanjang malam. saya bermalam di hotel Flores cukup bersih dengan harga 100.000 yang standard. Yang lebih menarik perhatian saya sebetulnya hotel itu juga punya warnet. Hehehe… ga jadi istirahat lebih awal kalau begitu.

Day 9. Oct 3. Mon
Bangun tidur ku terus pilek! Cuaca diluar mendung dan gelap. Variasi lah daripada panas terus. Kalau di Ruteng dan Wae Rebo saya bisa tenang menghindari kamar mandi tapi di Ende tidak boleh gitu. Ende kota pantai meskipun terletak di perbukitan juga, cuacanya lumayan panas, yah seperti di Bogor lah. Selesai mandi saya tercengang waktu beres-beres ransel kok jadi melembung gila-gilaan. Mulailah memilah baju-baju yang tidak mungkin diajak ke perjalanan selanjutnya. Bungkus yang rapi. Cari ojek di luar untuk mengantarkan baju-baju ini ke KGP. Ongkos 3.000.

Selesai mengucapkan selamat jalan kepada baju-baju yang berangkat duluan ke Jakarta, saya ingin menengok rumah tempat tinggal Ir. Soekarno dulu di masa pembuangan ke Ende. Ongkos kesana masih tetap 3.000. Jangan-jangan tariff tetap jauh dekat 3.000. Sayang sekali waktu saya tiba di lokasi penjaganya sedang berkeliaran entah kemana. Ada yang bilang pulang, ada yang bilang dia ke pasar. Terpaksa duduk-duduk saja di depan rumah dan berjalan ke belakang rumah mengintip-intip dari pagar belakang dan samping.

Ingin pesiar ke Wolotopo tapi ojeknya sekarang tambah belagu minta 50.000 pp. Ogah ah. Sana kamu pulang saja. Mbak tidak kembali ke hotel? Trims saya jalan saja. Dekat.

Pede banget yah blum juga ktemu peta dari jaman di Ruteng berburu peta pariwisata Flores belum ketemu, sekarang pulang ke hotel jalan kaki. Halah jalannya kan cuma itu-itu saja. Sok bener. Setelah puas bengong di depan rumah Bung Karno, saya mulai berjalan kearah ojek datang tadi. Lurus belok kiri, belok kanan, lurus, belok, belok….Lho… kok di depan saya ke arah pantai? Oh ya…sebelah sana. Ulang lagi. Lho ini jalan yang mana yah? Tadi engga lewat sini. Coba dulu ke sana mungkin. Eh bukan. Lewat sini mungkin. Nanti dulu….daripada panik plus lapar kan cuma sarapan bolu kukus 1 biji tadi (itu menu sarapan dari hotel 100.000 hehehe…), lebih baik panic dengan perut kenyang. Nah itu di depan sana ada warung padang, makan dulu lah. Selesai makan dan membayar mau tanya arah ke penjual makanan hotel Flores dimana. Untung belum sempat terucap itu pertanyaan tolol, ternyata warung  padang ini berada di seberang hotel Flores. Yaaaaaa ampun!!!!

John telpon kalau dia tidak bisa antar saya ke Moni nanti biar Sius (iparnya John) saja yang antar. "Oke."
"Jam berapa mau jalan?"
"Terserah. Sekarang juga boleh."
"Ya kalau gitu tunggu sebentar ya."

Sekitar jam 1 lewat Sius yang datang. Pergilah kami ke Moni dengan motor (lagi). Tapi kali ini perjalanan tidak terlalu bumpy seperti jalanan dari dan ke Dintor. Jalan aspalnya sangat mulus dan tetapi masih ketemu proyek pelebaran jalan di sana sini hanya untuk rute Ende-Moni proyek-proyek tersebut aktif dan sedang dalam pengerjaan. Mungkin karena Kelimutu sudah sangat terkenal dan cukup lama menjadi andalan wisata Flores jadi jalan yang satu ini sangat diperhatikan pemerintah.

Bukan hanya jalan aspal yang bagus, tetapi pemandangan alamnya juga tak kalah bersaing dengan Manggarai dan Ngada. Tebing, jurang, ngarai dan sungai yang indah dan menakjubkan terus menjadi suguhan utama selama perjalanan hingga mencapai Moni. Saya minta berhenti di beberapa tempat untuk memotret. Cuaca mendung membuat hasil foto lebih dramatis daripada matahari terang benderang.

Di suatu tikungan menanjak motor berjalan agak kencang dan mata saya menangkap air terjun menakjubkan di ngarai yang sempit. Air terjunnya tidak terlalu tinggi, tidak lebih dari 10 meter sepertinya tetapi bentuknya sempit melewati celah batu gunung yang besar. Airnya mengalir dan berkumpul di kolam dibawahnya berwarna bening kehijauan. Dari pinggir jalan saya melihatnya tertutup rimbunnya pohon bamboo. Kak berhenti donk. Ngga dengar. Pake helem. Saya tepuk bahunya dari belakang baru nengok, tapi yaaa…..udah lewat jauh air terjun tadi. Sudahlah nanti saja waktu pulang.

Masih harus melewati beberapa desa lagi sebelum mencapai Moni cuaca mendung semakin parah. Kabut semakin tebal dan hujan pun turun. Nasib… kehujanan lagi. Makin lancar saja air mengalir dari langit dan hidung saya. Setengah berpikiran buruk saya melayangkan pandangan ke atas, kea rah pegunungan yang tertutup kabut. Gimana ini kalau besok kabut tetap bercokol diatas sana? Sudahlah besok urusan besok. Sekarang cari penginapan dulu.

Waktu di Ruteng kehabisan tempat apalagi di Kelimutu yang obyek wisata andalan, pastilah lebih penuh lagi. Ternyata kecele total. Malah masih banyak penginapan kosong di Moni. Lah tau gini saya engga usah merepotkan orang lain. Pergi saja sendiri. Kami terdampar di penginapan dekat jalan masuk ke taman nasional Kelimutu. Sama seperti hotel Flores tarifnya tapi tempatnya jauh lebih jorok. Tidak terurus. Biarin lah untung SB selalu menemani. Tinggal gelar diatas kasur. Beres. Cuma semalam ini. Malam itu hujan turun lebat. Makin was was saja saya. Saya ingin naik ke danau pagi sekali. Jadi kita start jam 4 ya. Kata Sius jam 5 saja bisa, jam 4 masih terlalu gelap. Terserah.

Day 10, Oct 4. Tue.
Belum jam 4 saya sudah terjaga. Hujan tidak kunjung reda. Waduh. Hampir jam 5 saya sudah tidak tahan lagi. Saya telpon Sius di kamar sebelah. Gerimis masih terus turun, sesekali lebat. Tetap kami naik.

Jalan memang masih gelap dan sepi. Cuaca berkabut dan gerimis turun. Dari gerbang pintu masuk taman nasional ke tempat jagawana memakan waktu hampir setengah jam. Tiket masuk bagi wisatawan lokal 2.500, kendaraan bermotor antara 2.500 hingga 6.000. Harga tiket bagi wisatawan asing 20.000. Jika kita membawa kamera tambah ongkos 50.000,kalau bawa handy cam lebih mahal lagi 75.000 mungkin.

Sampai tempat parkir diatas matahari sudah mulai terlihat sinarnya. Sudah hampir jam 6 saat itu. Tapi mataharinya sendiri masih tertutup awan tebal. Ini dia yang kutakutkan dari kemarin. Kabut tebal. Hadoh. Dari tempat parkir kami berjalan kaki ke atas melalui tangga batu. Sepi. Masih terdengar suara binatang malam. Sudah tercium bau belerang kata Sius. Endus..endus..engga tuh. Oh hehehe..kan saya pilek.

Hujan masih turun rintik-rintik. Kami berjalan kearah danau pertama. Agak berdebar juga saat mendaki tangga. Danau masih belum terlihat, selain tebing danau masih menjulang di depan saya lagi-lagi kabut juga membuat jarak pandang tidak jauh. Danau ini yang dapat berubah warna menjadi merah darah. Kalau melihat di kalender atau gambar di internet biasa saja. Tapi bagaimana kalau saat itu warnanya juga merah darah hiii….seram tidak yaa. Sampailah di ujung undakan dan terlihatlah kabut tebal. Cape deeh… Setelah menunggu beberapa saat kabut mulai menipis dan terlihatlah warna Tiwu Atapolo, hijau tua. Yaaaa…kecewa. Saya berharap warnanya merah atau coklat tua, walaupun agak takut juga pastinya. Tetapi warna hijau tua itu indah sekali ternyata. Saya bengong di ujung tangga entah berapa lama. Tau-tau Sius bercerita kalau danau ini sering dipakai orang untuk alat bunuh diri. Weleh. Berhasil? Banyak yang berhasil. Lumayan juga prestasi danau ini hehe…

Dari tempat ini terlihat sebentar warna danau tetangga dekatnya, hijau muda. Srrr….kabut datang lagi. Yadeh… jalan keatas dikit. Ga boleh ngintip. Oke.

Tiwu Nuamori Koofai, menurut keterangan yang tercantum di papan. Menurut Sius namanya apa yah…lupa. Dia menyebut nama-nama yang sangat berlainan untuk ketiga danau. Danau yang kedua yang saya lihat ini lebih luas. Dari ketiga danau, 2 danau ini yang letaknya berdekatan dan dikelilingi tebing yang curam hampir 90 derajat.  Banyak terdapat papan ditempeli keterangan mengenai ketiga danau, seperti warna, kandungan materi, suhu, murid, perguruan..ngelantur. Tapi sayang sekali, papan-papan itu dibiarkan lapuk begitu saja dan poster-poster yang berisi keterangan sebagian besar sudah mengelupas di sana-sini, robek dan luntur dimakan cuaca. Payah. Ini kan taman nasional dan namanya dikenal luas secara internasional, tapi pengelolaan yang tidak karuan macam ini tetap dipertahankan.

Untuk melihat danau yang ketiga, pengunjung harus menaiki tangga lagi menuju puncak. Dari puncak itu pengunjung dapat menikmati keindahan ketiga danau. Semangat saya berjalan keatas, siapa tau kabut jadi malu dan menyingkir. Di puncak sudah berkerumun turis-turis asing dari Jerman dan Belgia. Hahaha…yang sial bukan saya aja ternyata. Yang datang dari negeri sebrang pun kecewa juga diselimuti kabut.

Menunggu beberapa saat ingin melihat danau yang ketiga atau Tiwu Ata Mbupu. Warnanya apa yaaa???... Duh kabut ini santai sekali malas bergerak menyingkir. Dalam hati saya menyesal juga dan berpikir apa ini gara-gara saya berbohong mengatakan kepada penjaga tidak bawa kamera jadi sial Kelimutu tidak terlihat penampakannya. Kabut tersingkap sedikit. Terlihat warna danau hitam pekat. Benar-benar sebentar, tidak sempat saya menjepretkan kamera. Tambah bonus lagi. Hujan semakin lebat.

Lebih dari satu jam manyun di puncak. Angin semakin kencang. Hujan masih turun. Turis-turis itu akhirnya menyerah, mereka turun untuk segera menuju ke tempat wisata yang lain. Saya diam saja sabar menunggu setidaknya sampai jam 9 lah. Mungkin kabut sudah menyingkir semua. Keadaan semakin sepi, suara angin yang menabrak tebing danau terdengar menyeramkan seperti di filmTwister. Kencang sekali tapi asyik juga. Serasa jagoan di film mata-mata hehehe…

Benar lewat jam setengah Sembilan kabut mulai menipis. Lumayan saya bisa berkeliaran naik-turun mengambil gambar ketiga danau. Tapi masih tetap berkabut juga sih hasilnya. Yaah daripada engga sama sekali. Sius sepertinya ga peduli dan sibuk dengan telponnya. Baguslah. Saya bebas berkeliaran.

Puas berkeliaran, hampir jam 9 cuaca berkabut lagi. "Dah yuk kita turun." Ajak saya. Waktu menuruni tangga dari puncak saya mendengar suara-suara orang yang baru datang. Saya katakan pada Sius "Tuh ada orang-orang lagi yang datang. Kayaknya turis lokal." Dia diam. Lama tidak ada suara. "Ah tidak ada orang lain kecuali kita." Yah mulai dah dia mikir yang engga-engga. Saya tetap yakin dengan telinga saya. Hidung boleh tidak berfungsi kali ini tapi telinga saya masih berfungsi baik. Tadi itu suara orang mengoceh. Ada beberapa, lebih dari 2 sepertinya. Saya ngotot. Ya sudah kita turun saja. Kabut semakin tebal.  Kata Sius. Berjalan beberapa lama kabut sedikit menipis dan tuh kan benar. Memang manusia yang berbicara. Tuh kan ada tiga lebih dari dua. Week. Dia diam saja ga ngaku kalo tadi takut. Dan kamipun berpapasan dengan mereka yang sedang naik ke puncak. Hehehe…  senang saya korban kabut makin banyak. Di bawah, di tempat parkiran datang lagi korban yang lain satu keluarga besar dengan 2 mobil. Silahkan nikmati kabut di atas.

Sudah puas melihat kabut Kelimutu. Yah mungkin lain kali kalau hujan duit bisa membawa saya kembali ke sini pada bulan-bulan musim kering, sehingga bisa melihat ketiga danau disaat cuaca cerah. Siapa tau Tiwu Atapolo akan berwarna merah darah. Amin…

Jam 9 kami berkendara kembali ke Ende. Kali ini saya siap siaga untuk menepuk bahu Sius atau kalau perlu memukul helemnya supaya sempat berhenti di pinggir jurang tempat air terjun yang sudah saya incar dari kemarin. Rasanya tidak puas juga hanya memotret. Melihat airnya yang hijau bening rasanya pasti menyenangkan kalau bisa turun kesana dan berendam. Ah mungkin juga lain kali.


Kami tiba di Ende sebelum jam 12. Makan siang sudah disiapkan oleh kak Heny. Nah akhirnya ketemu juga masakan lokal. Menunya ikan kuah asam dan sayur pakis. Enaaak….

Kalau menurut rencana saya tadinya pulang dari Ende hari senin dan mampir ke Bajawa. Dari Bajawa langsung ke Labuan Bajo. Tapi saya jadi senewen sendiri mikirin si Ranaka. Tinggal sedikit waktu di Flores sudahlah yang penting tidak terhambat letusan gunung. Langsung pulang ke Ruteng lagi. Baru ke Labuan.

Sius sudah menelpon travel sebelumnya. Saya akan dijemput sekitar jam 2. Jadi masih ada waktu luang. Seperti kebiasaan penduduk Ruteng juga pegawai makan siang di rumah. Enak yaaa….ga ada macet. Kak John dan kakak satu lagi tidak tau namanya pulang makan siang di rumah. Selesai makan siang mereka minta diadakan photo session. Yah bolehlah. Tinggal asal jepret ini. Hasilnya paling apes kacau balau.

Jam 2 kurang mobil travel datang menjemput dan meninggalkan Ende. Kali ini mobil yang saya naiki adalah apv. Penumpangnya 7 orang termasuk supir dan supir cadangan. Kali ini saya duduk paling belakang bersama supir cadangan karena terakhir dijemput selain itu kursi depan sudah didiami ibu-ibu galak. Saya sudah was-was, takut kalau seperti pengalaman sebelumnya,walaupun mobil sudah penuh tetap dijejali penumpang. Untungnya tidak. Aman.

Perjalanan awalnya biasa saja. Saya banyak mengobrol dengan si supir cadangan sampai saat ini saya engga tau namanya. Supir mengendarai mobil ngebut di jalanan Flores yang berliku-liku dan naik-turun. Tidak masalah bagi saya. Yang masalah adalah supir-supir disana, terutama yang masih muda, doyan ngebut sambil sms-an! Sinting! Entah apa maksudnya, nyupir ngebut kesetanan tapi banyak istirahat. Percuma lah. Woi pir!! Jalan! Setiap kali penumpang harus berteriak mengingatkan si supir sableng. Baru kemudian perjalanan berlanjut. Macam-macam saja.

Memasuki kabupaten Ngada, cuaca berkabut dan udara sangat dingin. Tiba-tiba (maaf) bokong saya terasa hangat. Apa ini. Hadoooh...Si bayi yang dari tadi tidur nyenyak dalam gendongan ibunya yang duduk di sebelah saya, tiba-tiba muntah. Untung juga cuma anak bayi tapi kan duduk jadi tidak nyaman. Si supir menghibur saya, "Masih tidak seberapa mbak, mbak cuma dapat dari yang kecil. Saya pernah dapat dari bayi besar. Perempuan dewasa duduk di depan dia pusing." Dalam hati, ya iya kalau nggak biasa naik mobil di jalan gunung apalagi yang nyetir setan ya mual lah. Kok bisa-bisanya bukannya buang ke kiri (keluar jendela maksudnya) malah dia buang ke kanan ke tempat saya. Hahahaha..... semua penumpang tertawa. "Yah itu bagus toh, penumpang yang tau diri tidak membuang sampah sembarangan." Puas saya nyeletuk.

Enak si supir bisa berhenti di sembarang tempat untuk ke belakang. Nah saya yang tadi siang makan dan minum cukup banyak jadi bingung juga. Si supir cadangan berkata nanti di Bajawa ada tempat teman saya. Teman ya. Oke. Sampai di Bajawa ternyata numpang di temannya bayar juga 2000 untuk ke toilet. Selesai ritual ke belakang kami bergegas kembali ke mobil. Si supir nyeletuk "Eh kalian berdua ini kompak sekali."
 Apa maksudnya tuh? Terserah dia cekikikan sendiri. Baru saya menutup pintu belakang. Gubrakkkk!!!! Nah tuh rasain ada tumpukan kayu dianggap jalan tol kali, langsung tancap. Ibu yang di depan langsung berteriak, dasar supir gila!!! Hahaha…kebingungan dia membereskan kayu-kayu yang berantakan.

Saya pikir setelah itu dia nyupir sambil konsentrasi dan kapok main hp. Salah besar! Tetap dia ngebut sambil main hp hingga tiba di Aimere saat makan malam. Di Aimere ibu yang duduk di depan melanjutkan perjalanannya ke Kupang dengan kapal. Saya pindah duduk di depan. Kesempatan nih kalau hpnya masih juga nggak dimatikan saya akan rampas dan buang kalau perlu.

Sedikit keluar dari Borong semua penumpang sudah habis kecuali saya. Supir cadangan sekarang yang mengendarai mobil. Bagus saya tidak capai mengingatkan si supir gila. Dia asyik bermain hp sendiri di belakang. Jalanan semakin mendaki dan berkabut. Ruteng masih jauh. Malam semakin pekat dan ditambah hujan yang turun. Untung saja supirnya sudah berganti tapi malah saya jadi co-driver, membantu supir melihat jalan dan member petunjuk belok kiri atau kanan. Lampu mobil tidak banyak membantu, karena jarak pandang paling jauh hanya 2 meter kedepan. Kalau melewati daerah yang berpenduduk masih aman, ada garis putih pembatas jalan yang dijadikan acuan. Tetapi kalau sudah memasuki area hutan, benar-benar gelap gulita. Lampu mobil tak ubahnya lampu senter. Biar lebih seru garis putih itu juga putus di beberapa tempat bahkan di tikungan tajam dan U.

Mobil berjalan tidak lebih dari 20 km per jam, sambil sebentar-sebentar berhenti untuk memastikan di depan itu jalan lurus atau belok. Hampir jam 10, mobil memasuki area kaki gunung Ranaka, saya teringat tikungan mengerikan itu. Kalau dari arah Ruteng tikungan 90 derajat berbelok kanan kemudian menurun landai. Di bagian kanan tebing yang sedang menghadapi penggusuran untuk pelebaran jalan. Di kiri jurang dalam. Bagian itu sangat berdebu. Kalau malam berkabut dan hujan seperti ini pasti licin. Dan mobil terus mendaki kearah jurang itu. Halah jalan ini habisnya dimana…tidak terlihat. Mobil semakin pelan, tidak ada garis putih…kiri…kiri…sekarang dan benar saja terlewat sedikit tikungan itu, mobil berbelok tajam ke kiri, kemudian melambat. Legaaa….sudah lewat. Di belakang… weks! Si supir gila tidur.

Day 11, Oct 5. Wed.
Sebetulnya nggak enak hati juga nginap di tempat kakak Tres lagi, karena rencana dari Ende ke Bajawa langsung Labuan Bajo. Kalau tidak sempat mampir Bajawa ya langsung Labuan Bajo. Tetapi karena kelamaan di Kelimutu dan dapat travelnya juga yang siang terpaksa semalam lagi di Ruteng. Selain itu juga hingga saat itu belum ada kabar dari teman couchsurfing yang di Labuan Bajo, jadi saya masih belum dapat tempat disana.

Terlalu lama menunggu. Saya putuskan pagi itu harus segera mencari tempat penginapan di Labuan. Di warnet saya browsing penginapan di Labuan. Hmmm….kalau yang 100.000an, kemungkinan besar penginapan jorok lagi. Cukup beruntung kalau dapat yang lumayan seperti di Ende kalau tidak, wah kacau. Kalau yang 200.000an kemahalan tidak yaa…ah sudahlah tinggal 2 malam terakhir tidak apa memanjakan diri sedikit. Browsing lagi beberapa saat dan menghubungi beberapa tempat yang katanya kelas backpacker ternyata ratenya juga 300.000an. Kebanyakan juga full. Terakhir mencoba dapat di Puncak Waringin. Okelah. Melihat penampakannya di internet sangat bersih.

Kira-kira jam setengah sebelas saya berangkat dengan mobil travel, apv lagi atas rekomendasi supir tadi malam yang bertemu saya pada saat berjalan ke warnet. Tadi malam mobil tidak dijejali penumpang sampai kelewat batas, maka kali ini saya percaya saja. Mungkin juga sama. Salah lagi! Di kursi belakang saja duduk 4 orang. Di depan, sebelah supir ada dua wanita muda yang rela duduk berhimpitan. Saya ditengah untung cuma bertiga, tetapi kemudian supir cadangan datang yaaah jadi berempat. Apa karena tadi malam memang tidak ada penumpang menggangur di pinggir jalan maka mobil tidak berjejalan? Mungkin juga. Pokoknya jangan percaya dengan segala moda transportasi disana, bahkan mobil travel sekalipun. Bersiaplah dijejal-jejal seperti beras dalam karung. Lebih lucu lagi pemandangan bemo (angkot) dan taksi (truk modifikasi) terkadang penumpang terlalu banyak hingga terpaksa hinggap di atap kendaraan. Kalau saya perhatikan hanya travel Gunung Mas saja yang konsisten dengan kapasitas kendaraan. Makanya selalu full dan harus book beberapa hari sebelumnya.

Tiba di Labuan Bajo sekitar jam 3 sore. Benar saja penginapannya bagus, terletak di atas bukit, tidak ramai tetapi kita disuguhi pemandangan pelabuhan dan pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo.Dan yang pasti dengan harga 300rb sarapan bukan hanya bolu kukus. Setelah menaruh barang, saya bertanya ke penjaga di depan, kalau mau ke pantai Pede dengan ojek berapa ongkosnya. 3.000. Kalau ke bank yang dekat sini mana ya. Ada di bawah. Ongkos ojeknya? 3.000. Kalau ke pelabuhan? 3.000. Ke bandara? 3.000. Jangan-jangan dia cuma tahu angka 3.000 atau memang itu sudah harga standard ojek disini yah?

Sore itu saya ke Pantai Pede. Pantainya indah, berpasir putih halus dan air lautnya bersih. Wuih Ancol kalah total. Masuk ke pantai ini gratis pula. Ke ancol membayar berapa yah? 10 atau 20.000 untuk menonton air hitam hehehe… Pantainya pun tidak ramai, mungkin karena hari kerja atau memang orang sana sudah bosan setiap hari melihat hamparan pasir putih dan air laut yang indah. Hanya ada beberapa pemuda bermain volley pantai dan pasangan-pasangan yang mojok, serta tukang ojek-tukang ojek yang menonton semua adegan itu. Saya? Yaaa nonton yang main volley dong kan cowo semua hehehe..

Malam harinya saya menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di jalanan utama Labuan bajo. Jalan tersebut di dekat pelabuhan dan ramai dengan turis asing yang menginap di hotel-hotel sekitar situ. Saya terhenti di depan sebuah biro perjalanan. Seorang pria menawarkan paket perjalanan 1 hari ke pulau Rinca dan snorkeling, seharga 250.000. Ah saya tidak berminat bertemu komodo. Esok hari ingin saya habiskan waktu ke air terjun cunca rami dan batu cermin. Saya berjalan terus.

Beberapa lama berjalan, saya berpikir ini hari terakhir, ke air terjun sekitar 35 km dari Labuan, naik ojek mana mungkin 3.000. Selain itu, trekking lagi untuk mencapai air terjun. Ah saya tidak mau capai dan loyo setiba di Jakarta. Ke Batu cermin, itu juga gua yang lain lagi, kan sudah ke Liang Bua. Untuk apa cari-cari gua lagi, sedangkan yang menjadi mascot Flores kan komodo. Masak belum lihat komodo sudah jauh-jauh ke sini. Balik lagi ke tempat tadi. "Yak saya ikut."
"Oke. Nama mbak?" Saya mengeluarkan uang. 250.000.
"300.000, Mbak."
"Apa? Tadi katanya 250."
"Siapa yang bilang."
"Tuh orangnya?"
Ngedumel dah dia sama tuh orang. "Ya sudah 250 buat mbak."

Beres. Saya keluar dari tempat tersebut. Ada orang memakai helem dan duduk-duduk didepan kantor tersebut bertanya "Ojek mbak?"
"Yadeh. Ke puncak waringin ya."
"Kok jauh sih mbak? Nggak nginep di sini saja yang dekat."
"Yah habis yang ada kamar kosong cuma itu. Sebenarnya saya lebih suka di rumah penduduk sih daripada di hotel."
"Yah bilang dong mbak. Kalau mau, besok check out saja pagi waktu mau berangkat ke Rinca. Nanti malamnya tidur di tempat adik saya saja. Dia baru menikah dan suaminya sedang melaut. Dia pasti senang ada teman."
Wah bagus. "Oke."
"Ini alamatnya dekat kok dengan kantor tadi tinggal jalan kesini…sini…sini… atau dari pelabuhan minta saja ojek antarkan ke rumahnya Farida. Dia pasti tahu. Sebentar saya telpon dia dulu." Eh sudah sampai. Saya mengeluarkan uang, dia menampik. "Nggak usah bayar."
"Hah? Gimana?"
"Nggak usah. Saya bukan tukang ojek kok." Lho tadi ngapain nawar-nawarin? Aneh. Hehehe…malah dia kasih tangan kenalan.
"Ardi hehehe…." Trus tancap gas. 

Day 12, Oct 6. Thu
Jam 7 lebih sedikit saya sudah stand by di depan kantor biro perjalanan itu. Kerajinan atau memang ga ada kerjaan lain datang kepagian. Katanya jam 7.30 kumpul terus langsung jalan. Kenyataannya…bule-bule juga suka ngaret. Teman seperjalanan baru muncul jam setengah delapan lewat. Ada 4 orang teman seperahu, ada sepasang suami-istri dan kakak-adik. Saya sama sekali tidak ngobrol dengan mereka, yang sepasang orang perancis (ga ngarti ngomong apaan), yang kakak-adik dari bahasanya pratak-prutuk kemungkinan orang kroatia atau sebangsanya. Saya lebih senang nongkrong di sebelah supir perahu saja. Tempatnya lebih luas, bisa sambil tiduran.

Berperahu ke pulau Rinca melewati pulau-pulau kecil berpasir putih dan karang-karang yang menonjol ke permukaan laut. Laut sangat tenang hanya ombak-ombak kecil menerpa perahu sesekali. Ah kalau begini bisa sambil jepret-jepret. Bergaya dengan kamera ditangan tapi toh hanya bisa menganga waktu melihat 3 ekor lumba-lumba melintas. Menyedihkan.

Dua jam berperahu dari Labuan Bajo ke Rinca. Kami turun dari perahu dan tiba di sebuah gerbang yang mirip gardu pos. Panas sekali, saya duduk-duduk sebentar mengatur dandanan, memoleskan sunblock lagi, memasang topi, kacamata hitam dan jaket (ya benar jaket saya ada hoodnya jadi buat pelindung muka dan tangannya saya ikatkan seperti syal di leher). Memakai kaus baju lengan panjang masih belum cukup. Muka belum terlindung. Biarin bule-bule itu memakai tank top mereka memang senang terpanggang. Kalau saya cukup rendah hati tidak mau menyamai legamnya nelayan-nelayan Labuan bajo. Bule-bule itu menonton adegan saya. Heran kenapa itu kamera nggak sekalian buat men-shoot lumayan kalau saya jadi terkenal di Negara mereka. Orang aneh yang memakai sauna berjalan.

Ge er banget saya pikir mereka heran dengan tingkah laku saya, nggak taunya memang mereka clueless..hahaha…mereka ga tau musti ngapain. Mungkin harus mencari komodo dengan cara merangkak diantara pohon bakau atau lubang. Bingung. Yeee…apalagi saya. Kemudian tukang perahu mengantar kami ke kantor ranger. Menuju ke kantor jagawana pun harus berjalan jauh melalui tanah kosong yang kering, membuat saya membayangkan gurun Mojave di Arizona (ngayal mulu) tapi ini versi kecil-kecilan.

Sama seperti ongkos masuk Kelimutu, turis lokal dipunggut biaya 2.500 per orang, turis asing 20.000, kamera 50.000. Saya tidak berbohong karena memang yang ditanyai bule-bule itu saja apa mereka membawa kamera atau tidak. Mungkin karena tampang saya yang ga bermodal mereka cukup meminta uang 2.500 saja. Sama sekali tidak ditanyai macam-macam.

Eric (kalau saya tidak salah dengar)adalah nama jagawana yang mengantar rombongan kami. Disana mereka pakai istilah barat, ranger. Kereeeenn.  Dia mengantarkan kami sambil menjelaskan berbagai hal mengenai komodo, trekking keliling, naik-turun bukit di Rinca selama 2 jam. Enteng sih dibandingkan trekking ke Wae Rebo. Tanjakan-tanjakan di Rinca cemeeen..tapi….mataharinya itu yang membuat trekking jadi lebih berat daripada ke Wae Rebo. Apalagi saya memakai jaket. Biarlah tersiksa selama dua jam demi masa mendatang.

Eric menjelaskan kalau kali ini kami sangat beruntung karena rombongan kadal raksasa banyak bermunculan. Pernah ada rombongan turis asing yang marah-marah dan merasa tertipu karena lebih dari dua jam trekking tidak menjumpai satupun komodo. Dia juga berkata selama beberapa bulan bekerja sebagai ranger baru saya seorang yang asli Indonesia yang ikut trekking sampai habis. Lho biasanya? Yaaa...cuma sampai dapur atau kantor ranger, foto-foto trus pulang. Kalau begitu mereka termasuk pintar mengakali matahari. Cukup lega juga saya karena meskipun banyak menjumpai komodo tetapi ukurannya tidak sebesar yang saya bayangkan.

Setelah dua jam menghabiskan waktu untuk bersauna, kami melanjutkan berperahu ke pulau-pulau sekitar. Supir perahu bertanya mbak tidak mandi? (Sialan tadi pagi udah mandi plus keramas pula). Mandi maksudnya berenang kayak bule-bule itu. Enggak ah makasih. Mending piknik di perahu saja atau kalau ada tempat teduh di pantai disitulah saya bercokol.

Puas berkelana di pulau-pulau nan indah, kami tiba di Labuan Bajo kembali pada sore harinya. Kali ini saya menuju ke rumah Farida. Lumayan semalam hemat 300.000.

Day 13, Oct 7. Fri.
The last day. Sedih juga ini hari terakhir dan saya harus angkat kaki dari pulau indah ini. Penerbangan ke Denpasar dengan merpati tertera jam 9.25 diatas tiket dan ajaib pesawat merpati dari maumere tujuan denpasar yang mampir di Labuan bajo took off tepat waktu. Hebat!! Pesawat connecting dengan citilink dari Denpasar ke Jakarta baru berangkat jam 14.55. Kalau begini ada cukup waktu untuk berkeliaran di Bali.

Jam 10.50 pesawat landing. 10 menit lebih cepat dari jadwal. Hebat lagi dah! Bergegas saya hendak check-in supaya aman dulu tempat duduk baru siap kluyuran. Yah tapi counter check-in masih tutup. Keluar dari ruang tunggu bandara bermaksud mencari ojek, tapi tukang ojek di Bali kalau panas begini langka ternyata. Ah akhirnya ada juga yang muncul. Bisa nggak antar saya ke uluwatu, 2 jam saja cukup kan pulang-pergi. Ya bisa. Berapa? 100.000. Halah enggak dah makasih mending saya bengong saja di bandara. Udah pernah ini. Pupus sudah harapan ingin ke uluwatu sambil berburu b2 guling. Saya putuskan makan di bandara saja.

Masuk ke kedai lah ada Butet Kertaradjasa. Sok akrab. "Halo mas Butet." 
"Halo. Dari mana mbak?" 
"Dari situ tadi nawar ojek. Mahal."
"Halah ya iya tho mbak wong iki Bali.
"Mas mau dong foto bareng."
"Boleh-boleh. Cepat saja ya saya ditunggu teman." Ya. Lah! Baterai habis. Sial. Pantas, yang ga mau ke uluwatu sebenarnya baterai saya bukan tukang ojek. 
"Ya sudah mbak lain kali saja kita ketemu lagi di Ngurah Rai." Hehehe…dasar Butet.

Dua belas hari yang tidak terlupakan. Sudah puaskah saya? Belum. Kelimutu masih bersembunyi, mana puas. Belum lihat danaunya yang merah darah. Belum puas. Di Wae Rebo pun belum melihat acara penti (acara syukuran habis panen, biasanya bulan November). Ya belum puas juga. Kan belum nyebrang ke pulau Mules. Lain kali kalau ada waktu untuk nabung engga tau berapa lama pasti saya habiskan waktu lebih lama kalau perlu sampai ke Kalabahi, Kefa hingga Alor sana. Ah ya Bena juga. Tapi satu yang saya puas selama berada di Flores, yaitu muka saya jawa banget disana. Setiap bertemu orang baru disana, mereka pasti langsung menebak dari Jawa ya? Dari Surabaya ya? Kok tau sih saya orang Surabaya, padahal di Jakarta kebanyakan orang, mengira saya ini orang batak termasuk juga orang-orang batak itu sendiri. Saya jadi ingat ada guru SMA saya yang bertanya Herta kamu boru apa? Boru-boru saya mau jawab pak, bapak nanya apa juga saya engga ngerti. 
-FIN-

7 comments:

  1. halo mbak...
    saya dyah.. boleh nanya2 tentang perjalanan ke flores kah? boleh tau emailnya mbak?

    ReplyDelete
  2. wuaaaah,, ceritanya bagus banget,saya suka gaya penulisannya, hehe,, baca sampek abis dah :D, ternyata di NTT gak cuman komodo doang yang menarik,, nabung - nabung, nabung duit, nabung cuti, ntar pengen kesana,, o iya ijin saya tambahin di artikel direktori web saya ^^

    ReplyDelete
  3. halo mbak... seru banget ceritanya, dari dulu mimpi pengen ke Waerebo liat Mbaru Niang, tapi belum kuat mental, hahaha... boleh minta alamat email mbak?

    ReplyDelete
  4. wow.... perjalanan yang panjang, dengan deskripsi pengalaman yang detail dan jujur..

    saya sangat menikmatinya, serasa sedang duduk bersama-sama orang lokal dan terantuk-antuk di angkot

    hebat...

    ReplyDelete
  5. Cari bukunya mbak "Pesan dari Wae Rebo" terbitan gramedia pustaka utama mbak. Saya kebetulan juga baru Wae Rebo hehe

    ReplyDelete
  6. Bagus dan detail. Tapi panjang dan capek bacanya, fotonya kurang banyak. hehehe..

    ReplyDelete
  7. Mantap banget. saya udah pernah ke danau kelimutu tapi dulu saya masih kecil kls 4 SD 2008 saat saya pulang ke kampung halaman bapak saya di ende. its very wonderfull

    ReplyDelete